Rabu, 24 Desember 2008

Brand-Based Design

Teman,
Barusan aku habis balik dari Univ.Paramadina,diundang sharing session jurusan DiskomVis (Desain komunikasi visual) untuk masalah branding. Dan kagetnya adalah di akhir session para dosen meminta saya membantu mengajar sebagai dosen luar biasa di jurusan itu.
Rupanya ada gebrakan baru dari DiskomVis Paramadina. Sadar akan perubahan dan tantangan pasar mereka mulai membangun kompetensi baru bagi mahasiswanya yakni bukan sekadar desainer yang tahu bagaimana membuat desain produk yang bagus tapi juga saleable dan sesuai dengan strategi marketing dan branding. Mereka ingin mengubah pandangan dari menjadi desainer yang production oritented (pintar bikin desain indah) " paham how to" menjadi desainer yang tahu strategik "paham why dan what nya".

Presentasi yang saya siapkan tentang research on branding menjadi inspirasinya. Cerita saya tentang beberapa produk yang pernah saya terlibat membangunnya memperkuat alasan untuk berubah. Sudah saatnya DiskomVis Paramadina menemukan new differentiation yang strong di market. Aligning tactical skill di desain dengan strategic marketing & branding knowledge dipercaya akan menjadi energy untuk stand out dan out of the crowd.

Tahun ajaran baru ini saya rencaba diminta mengajar research on brand tiap rabu jam 7 pagi. Semoga amanah baru ini menjadi penyeimbang diantara kehidupan profesional yang telah saya jalani selama ini. Amien...

Senin, 15 Desember 2008

Mau Prospek kok di Closing

Kisah ini benar terjadi, bahkan baru saja saya alami, dan celakanya pertama kali baru kejadian sejak saya menekuni dunia konsultan tahunan...Mau mem-prospek kok malah di closing

"Drama"hidup ini terjadi pertengahan November kemarin. Alkisah seorang temen, seorang call center consultant, mengajak saya ke sebuah yayasan untuk pengembangan orang buta. Katanya, "kamu bisa membantu yayasan ini kasihan sudah 17 tahun berdiri kok ndak maju2 padahal misinya mulia yakni memberdayakan orang buta." Meski hari ini ada setumpuk PR riset dan observasi untuk presentasi ke klien namun hati saya telah berhasil mematikan setan logika. Serentak saya bersemangat, bangkit dan antusias padahal sebelumnya badan terasa sakit sekali digerakkan apalagi membayangkan harus menyetir ke arah jakarta selatan yang super macet.

Kami berdua meluncur penuh semangat, kami memutar JORR sampai Pondok Indah kemudian mengarah ke tujuan. Sepanjang perjalanan saya dan teman berkelakar seperti biasanya, cerita sana sini soal marketing bisnis dan kehidupan pribadi, tidak ada firasat sama sekali kami akan "dikerjain" (baru tahu khan kalau konsultan pun sering dikerjain orang hehehe)

Nah sampai disitu saya diperkenalkan dengan semua staf yang sebagian besar buta. Hati saya langsung mengucap syukur bahwa masih diberi dua pupil yang indah dan fungsional ini. Tapi saya tidak melihat satu aura pun kesedihan apalagi putus asa di dalam bangunan sederhana itu. Bahkan sebaliknya antusiasme dan percaya diri sangat kental, terlihat dari cara mereka menjabat tangan dan mengucap salam kepada saya meskipun mereka tidak tahu persis posisi saya.

Saya pun berkenalan dengan pemimpin dan semua kolega di yayasan tersebut. Seperti biasanya obrolan pun mengalir dari topik personal dan kemudian dilanjutkan dengan topik agak serius seputar bisnis. Setelah teman saya menjelaskan tentang call center panjang lebar sampai akhirnya pertanyaan menjurus ke branding yang tiba-tiba menohok ke saya.

Saya pun menjawab dengan sejelas2jelasnya bahkan seperti memberikan one day training. Tak terasa telah satu jam saya berbicara marketing dan branding bahkan sampai tactical idea pun saya sampaikan. Meskipun saya tidak tahu pasti tapi saya "merasa" kedatangan saya "berguna dan mencerahkan"dari gesture dan karakter suara (thank pak luthfie utk tekniknya)

Salah satu poin yang saya katakan adalah: " call center marketing adalah lahan yang tepat untuk orang2 buta selain publishing atau health therapist karena call center membutuhkan seorang yang berjiwa empati sehingga bisa merasakan respon pelanggan hanya dari voice nya saja. Dan saya yakin teman-teman yang buta memiliki kelebihan di sisi tersebut."

Namun beberapa saat salah seorang audience berdiri dan beranjak keluar. Tanpa sadar tak sampai semenit dia sudah berada di samping saya, katanya: " Pak Anke,Pak Lutfie saya sudah mendengar tips selling dan branding dari bapak sekalian, nah ini saya ingin praktik persistent selling." "O ya maksudnya apa?", tanya saya. "Gini pak, kami punya paket buku dan CD seharga 135.000 kalau bisa bapak bisa berpartisipasi dengan membelinya."

Wah, kontan saja saya kaget begitu juga pak Lutfie. Saya langsung lemes dan merasa tidak berarti sama sekali. Dua jam lebih kami meluangkan waktu dan itupun DIUNDANG bukan kami datang dengan inisiatif sendiri, namun malah di prospek dan langsung ditohok closing. Katanya, "mempraktikkan ajaran kami".

Saya bilang ndak pernah dalam sesi dua jam itu kami mengajarkan hal seperti ini (dalam hati karena takut melukai perasaan mereka). Kami bisa saat itu membayar 135.000 tapi bukan segitu harga kami kalo mo minta sumbangan, diri ini merasa terhina-dina karenanya.

Akhirnya kami pun "cabut" dari yayasan tersebut dan sama-sama belajar bahwa men-judge orang yang "disable" bahwa mereka mempunyai indra keenam dan lebih sensitif dibandingkan orang normal ternyata bisa keliru. Melihat orang cacat "punya kelebihan" sama salahnya dengan melihat orang sempurna "punya kekurangan". Yang benar, kita harus berpandangan netral tidak boleh terjebak melihat atribut fisik. Saya jadi teringat tukang ngemis di perempatan yang saya lalui setiap hari, mereka justru mengekploitasi kecacatan mereka untuk "menjerumuskan"orang normal mengasihani mereka. Ini kebiasaan dan budaya yang SALAH di masyarakat kita, orang lemah selalu ditolong dan didorong untuk selalu merasa LEMAH! Tidak pernah kita benar-benar MEMBERDAYAKAN mereka dan MENGHORMATI mereka seperti insan normal dengan memberi perlakuan yang sama dengan orang normal.

Mungkin pandangan ini salah, jadi nggak perlu Anda mengikuti, cukup saya saja!

Kamis, 11 Desember 2008

SEKOLAHpun SADAR MARKETING

Tahukan Anda industri sekolah nasional plus telah tumbuh lebih dari 100% setahun?
Saat ini terdapat lebih dari 200 sekolah golongan national plus di seluruh Indonesia. Padahal pada saat kran pendidikan mulai dibebaskan untuk asing masuk ke Indonesia pada medio 2000, kategori sekolah national plus hanya diisi tidak lebih dari 10 sekolah, itupun hanya tersebar di Jakarta saja. Angka 200 inipun masih bisa bertambah jika lembaga pra sekolah dimasukkan ke dalamnya. Artinya ketegori “plus” ini semakin ranum di masa depan, tidakkah Anda ingin masuk?


Institusi Pendidikan dan Industri Pendidikan
Jika Anda jujur mau melihat realitas maka Anda akan setuju jika saya menyebut ada dikotomi dalam pendidikan di Indonesia. Satu kutup bernama Institusi pendidikan dan satu kutup bernama industri pendidikan. Kutup pertama dihuni komunitas sekolah nasional milik pemerintah yang murah, generik, dan kaku. Sedangkan kutup kedua dihuni sekolah internasional dan sekolah national plus yang mahal, customized, fleksibel, dan menawarkan nilai lebih. Ibarat obat sekolah nasional milik pemerintah adalah obat generik dan sekolah nasional plus adalah obat bermerek terkenal. Layaknya obat bermerek, industri pendidikan jelas menawarkan manfaat lebih, bukan hanya functional benefit namun juga emotional benefit bahkan spiritual benefit. Tidak hanya menawarkan pengembangan sisi intelektual anak (IQ) layaknya sekolah negeri-pemerintah, sekolah nasional plus juga menumbuhkembangkan kemampuan emotional dan spiritual anak sehingga segala macam bakat dan potensinya keluar menjadi kompetensi yang berdaya saing tinggi.

Jadi kemudian wajar jika sekolah untuk golongan masyarakat menengah ke atas ini mematok uang pendaftaran dan SPP yang lebih mahal. Hasil riset saya ke beberapa sekolah national plus di Jakarta menunjukkan orang tua harus minimal harus mengeluarkan 15 juta setahun untuk biaya pendidikan sekolah nasional plus yang di grade 3, itupun belum termasuk biaya ekstrakurikuler, makan dan transportasi. Sedangkan apabila mereka ingin menyekolahkan anaknya ke sekolah national plus grade 2 yang lebih tinggi, orang tua harus menyiapkan 30-50 juta rupiah setahun. Namun jika belum puas juga, orang tua bisa memasukkan anaknya ke sekolah nasional plus grade 1 yang berbiaya sekitar Rp. 50-100 juta per tahun. Meski menguras isi kantong, sekolah national plus ternyata sangat diminati, terbukti pertumbuhan per tahunnya di atas 100 persen.

Sekolah Nasional Plus Sudah Menjadi Kebutuhan Masyarakat Perkotaan.
Masa sekarang disebut era informasi karena manusia telah berhasil menciptakan piranti teknologi yang membuat akses informasi menjadi tanpa batas. Dimulai dari ditemukannya personal computer, lalu internet yang bisa menghubungkan antara komputer di seluruh dunia dan membentuk dunia maya. Informasi menjadi hak semua orang yang mudah diakses kapanpun dan dimanapun.

Dengan kondisi demikian harusnya manusia semakin bahagia, namun ternyata yang terjadi sebaliknya manusia justru semakin gelisah. Dulu orang mengatakan kalau saya bisa mendapatkan informasi lengkap maka saya bisa mengambil keputusan lebih baik, namun buktinya sekarang semakin banyak informasi yang masuk justru manusia dibuat kewalahan.

Kejahatan sekarang bukan masuk melompati pagar rumah Anda namun masuk melalui gelombang radio yang tertangkap perangkat televisi dan komputer Anda yang terhubung ke internet. Informasi yang seharusnya hanya boleh dikonsumsi orang dewasa, sekarang merebak menjadi informasi yang bisa dikonsumsi semua orang di segala umur, termasuk anak-anak. Sangat menggelisahkan bukan?

Di sisi lain orang tua semakin hari semakin sibuk dengan urusan pekerjaannya. Mereka bekerja lebih dari 10 jam sehari 5 hari seminggu. Waktu untuk anak dan keluarga menjadi barang langka yang tidak tergantikan. Orang tua seakan menjadi kurang waktu untuk mendidik anak-anaknya secara baik. Tidak seperti di era terdahulu di mana orang tua selalu mengantar tidur anaknya, menungguinya saat mengerjakan tugas sekolah, dan berbagi cerita tentang kehidupan sambil minum teh di sore hari. Orang tua sekarang mana sempat!

Para orang tua sadar dengan keterbatasan ini, mereka tidak bisa memilih bagaikana dua sisi mata uang yang sama-sama berharga—pekerjaan atau anak. Namun masalah ini menjadi terselesaikan manakala sekolah nasional plus lahir di tanah air. Sekolah nasional plus bukan hanya mengambil peran sebagai guru namun juga sebagai orang tua yang membangun karakter anak, mengenalkannya terhadap Tuhannya dan nilai keluhuran bangsanya.

Sekolah nasional plus mengadopsi sistem full day school sehingga orang tua yang bekerja tidak merasa kuatir dengan aktivitas anaknya sepulang sekolah. Saat jam reguler selesai, siswa sekolah nasional plus akan mengikuti kelas tambahan tersebut atau mengerjakan tugas sekolah bersama-sama. Dengan demikian sesampainya di rumah siswa tinggal beristirahat dan sedikit mengulang pelajaran bersama orang tua. Anak senang karena aktivitasnya padat dan tidak membosankan sementara orang tua juga senang karena anak-anak seharian di sekolah belajar, tidak keluyuran ke mall atau pusat perbelanjaan selepas jam sekolah normal. Sekolah nasional plus telah menciptakan solusi atas masalah yang terpendam selama ini.

Memilih Franchise Sekolah
Jika secara kategoti sekolah nasional pasti berkembang sehingga saya prediksi bakal menjadi bisnis yang menarik Anda masuki, pertanyaan selanjutkan faktor apa yang harus menjadi pertimbangan saat kita mengambil hak franchisenya?

Seperti yang telah umum dikenal, bahwa hak franchise bisa Anda dapatkan dari franchisor lokal maupun manca negera, demikian juga di industri sekolah nasional plus. Apabila Anda bermodal besar maka Anda bisa mengambil hak franchise sekolah luar negeri. Seperti yang dilakukan High Scope Indonesia yang mengambil hak franchise dari Singapura. Apabila dana Anda lebih kecil Anda bisa mengambil hak franchise beberapa sekolah nasional plus lokal seperti Sekolah Madania atau sekolah asing yang master franchise telah ada di Indonesia. Beberapa aspek yang harus Anda perhatikan adalah sebagai berikut:

Pertama, diferensiasi. Dalam bisnis apapun, diferensiasi selalu menjadi nyawanya karena ia yang menjadi alasan orang membeli produk tertentu relatif terhadap produk lain. Demikian juga dalam bisnis pendidikan, pastikan franchisor Anda memiliki diferensiasi yang solid baik dari sistem dan pendekatan pendidikan, fasilitas maupun dukungan kualitas sumber daya manusia. Sampai saat ini, sistem dan pendekatan pendidikan masih menjadi faktor penentu seseorang memilih sekolah tertentu. Namun pastikan juga sistem pendidikan yang diadopsinya telah terbukti, bukan masih dalam tahap percobaan.Oleh karena itu, saya menyarankan Anda memilih sekolah nasional plus yang telah berusia lebih dari lima tahun dengan asumsi masa lima tahun sekolah telah berhasil melampui masa kritisnya.

Semakin unik sistem pendidikan yang ditawarkan berarti akan semakin terbuka peluang sukses karena persaingan menjadi tidak relevan. Sebaliknya semakin generik sistem pendidikan yang ditawarkan akan semakin banyak pesaing yang harus dihadapi.

Kedua, brand image Jelas bahwa ketika Anda membeli hak franchise berarti Anda membeli brand. Pastikan bahwa brand franchisor bukan hanya positif namun juga sesuai dengan karakter segmen pasar di lokasi Anda mendirikan sekolah. Sekolah Bina Nusantara misalnya dipersepsikan sebagai sekolah yang mengedepankan IT untuk warga keturunan yang ingin berbisnis. Sebaliknya Sekolah Madania dipersepsikan sebagai sekolah pencetak pemimpin Indonesia masa depan yang tidak berorientasi pada etnis, ras, golongan atau agama. Terakhir Sekolah Pelita Harapan dipersepsikan sebagai sekolah plus untuk orang kristen yang fanatik.

Kalau kebetulan di lingkungan Anda banyak warga keturunan maka Sekolah Bina Nusantara barangkali paling cocok. Sebaliknya jika di lingkungan Anda mempunyai etnis beragam atau seimbang antara keturunan dan pribumi dan mempunyai pandangan moderat-universal maka Sekolah Madania yang paling cocok., Sebaliknay apabila di lingkungan Anda banyak terdapat penganut Kristen fanatik, barangkali Sekolah Pelita Harapan yang lebih tepat.
Selain itu Anda juga harus mempertimbangkan akankah brand image tersebut akan bertahan lama ataukah akan cepat usang dan tidak bernilai jual karena tidak sesuai dengan tuntutan jaman. Misalnya, tren globalisasi telah menuntut manusia semakin memahami perbedaan dan bersikap toleran. Apakah perubahan ini akan menyebabkan orang semakin menghindari sekolah yang bercitra fanatik terhadap agama tertentu ataukah sebaliknya justru membutuhkan?

Ketiga, uang muka dan SPP. Sebagaimana saya katakan di atas dari segi uang muka dan SPP, sekolah nasional plus dibagi menjadi tiga grade yakni grade 1, grade 2 dan grade 3. Semakin tinggi uang muka dan SPP biasanya semakin bergengsi sekolahnya dengan tawaran manfaat yang lebih lengkap. Namun ada beberapa sekolah yang kualitasnya sudah mencapai grade tertinggi namun dari segi uang muka dan SPP masih terjangkau misalnya Sekolah Madania. Sekolah Madania meskipun menawarkan ijazah nasional dan GAC (Global assessment certificate) namun biayanya per tahunnya masih dibawah 15 juta rupiah. Namun jika Anda menyasar segmen yang lebih rendah maka Anda bisa memilih sekolah seperti Al azhar Al ihzar atau Lazuardi.

Ketiga, harga angkat hak. Kalau sudah uniknya dapat dan citra mereknya sesuai dan diprediksi mampu bertahan menjawab tantangan jaman, maka langkah terakhirnya adalah melihat harganya. Harga yang dimaksud bukan hanya franchise fee namun juga segala persyaratan yang diwajibkan franchisor dimiliki oleh franchise seperti luas lahan, lokasi lahan, infrastruktur bangunan, bangku-bangku, kualifikasi guru dan lain sebagainya. Ada baiknya pastikan juga apakah franchisor memberikan asistensi guru pada masa awal berdirinya sekolah. Jika tidak,lebih baik mencari franchisor sekolah lain yang memberikan asistensi karena berarti sekolah tersebut bukan hanya berorientasi mencari tambahan uang dari franchise fee namun juga berkomitmen menjaga kualitasnya dalam jangka panjang.