tag:blogger.com,1999:blog-44117856481687296612024-02-19T23:19:31.291+07:00Marketing GamesTelaah Praktek MARKET-ing dan CommunicationMarketing Gameshttp://www.blogger.com/profile/05574923392063917331noreply@blogger.comBlogger27125tag:blogger.com,1999:blog-4411785648168729661.post-17133632722803682652009-08-26T09:32:00.002+07:002009-08-26T09:34:52.876+07:00Great Tagline, Great Promise(diterbitkan di Jawa Pos, 23 Agustus 2009)<br /><br />Coba sebutkan tagline-tagline sebuah brand yang Anda ingat dalam hitungan 3 detik?<br />Menurut survei kecil-kecilan yang saya lakukan, biasanya orang tidak akan bisa menyebutkan 3 tagline dalam 3 detik. Kalaupun ada biasanya salah. Ehm, sayang khan padahal perusahaan sudah keluar milyaran juta rupiah untuk mengkampanyekan. Ini bukti bahwa sesuatu yang terlihat sederhana nan remeh, eksekusi marketingnya ternyata nggak gampang.<br /><br />Tagline Coca-Cola “the real thing” dan tagline Teh Botol Sosro “ Apapun makanannya minumnya Teh Botol Sosro” barangkali satu diantara yang Anda sebutkan. Wajar, karena memang tagline ini sangat kena di hati. Enak diucapkan, enak dipahami, sekaligus penuh arti. Tapi untuk mendapatkannya ternyata penuh perjuangan, “katanya” Coca-Cola sebelum terkenal dengan slogannya “the real thing” mereka sudah punya 20 tagline. Sehingga, great tagline bagi ada unsur Anugerah Tuhan di dalamnya. Barangkali di Bulan Ramadhan nan suci ini, bulan yang tepat memikirkan tagline baru untuk brand Anda J<br /><br />Untuk itulah saya berbagai tips cara membuat great tagline untuk great product Anda.<br /><br /><strong>Langkah #1: Tagline = Janji<br /></strong>Tagline biasanya tidak jauh dari rumusan positioning. Itu langkah praktis yang biasa saya lakukan, nggak tahu marketer lain. Karena itu tagline nggak bisa dibikin sembarangan, karena ia adalah penanda janji Anda kepada pelanggan. Namanya janji khan harus ditepati? Jadi jangan membuat tagline sekadar menarik atau ikut tren tapi ceklah apakah tagline yang Anda buat sesuai dengan daya saing yang Anda miliki.<br /><br /><strong>Langkah#2: Kumpulkan Kata Kunci dari Brand Performance Anda saat ini</strong><br />Kumpulkan kata-kata (kalau punya duit ya pake riset pasar) yang mewakili kinerja brand Anda saat ini. Misal pelayanan prima, responsif, unggul, murah, dan lain sebagainya. Lalu setelah terkumpul golongkan kata-kata khusus itu ke dalam kata umum yang mewakili. Hasilnya adalah satu kata kunci misalnya “bertanggung jawab”.<br /><br /> <strong>Langkah#3: Kumpulkan Kata Kunci</strong> Yang Mewakili Kinerja Brand Performance yang Anda Inginkan Tercapai Dalam 2-3 Tahun Ke Depan.<br />Misalnya karena brand performance Anda sekarang sudah sangat services oriented yang ditunjukkan kepuasan pelanggan Anda bagus dan retention rate Anda OK,maka mungkin Anda menginginkan dua-tiga tahun lagi brand Anda tidak hanya diakui sebagai brand yang servisnya bagus namun juga harganya bagus. Cari kata kuncinya itu dan simpan.<br /><br /><strong>Langkah #4: Gabungkan Keduanya, Temukan Kata<br /></strong>Nah, jika sudah menemukan kata kunci brand performance sekarang dan brand performance di masa datang yang Anda inginkan maka coba gabungkan dua kata tersebut dan tariklah keduanya ke satu kata yang mampu mewakili keduanya, misalnya: Terpercaya.<br /><br /><strong>Langkah #5: Kumpulkan tagline Pesaing dan perusahaan yang ada dalam satu industri.</strong><br /><br />Langkah ini gunanya untuk menguji sejauh mana keunikan kata kunci yang Anda temukan. Jangan takut jika kata kunci yang Anda temukan sudah dimiliki pesaing dalam taglinenya, itu hal yang biasa saja karena kata yang indah dan menjanjikan dalam marketing biasanya I2L—itu itu lagi.<br /><br /><strong>Langkah #6: Petakaan Kata Kunci Anda dan Tagline pesaing ke dalam Busur 2x2 atau 3x3.</strong><br />Pembagian busur bisa Anda cari di buku-buku branding. Tiap guru brand bisa bikin busurnya sendiri, Anda pun tentunya bisa dengan cara mengamati penggolongan tagline-tagline yang Anda kumpulkan. Misalnya untuk Busur 2x2: Sumbu X ( Mudah Dipahami vs Inspiratif) , Sumbu Y ( Menjelaskan produk, Menjelaskan Impian)<br />Nah, setelah dapat, petakan tagline Anda ditempat yang Anda inginkan misalnya Anda memilih busur Mudah Dipahami (Sumbu X) dan Menjelaskan Produk (Sumbu Y) karena Anda mungkin brand baru sehingga penting bicara langsung ke fungsional produk.<br /><br /><strong>Langkah#7: Siapkan 3-7 kata yang Menjelaskan Kata Kunci</strong><br />Langkah terakhir adalah dari kuadran yang Anda pilih pada busur, Anda sekarang sudah bisa menentukan kira-kira kalimat apa saja yang cocok menjelaskan kata kunci tersebut. Ingat jangan lebih dari 7 suku kata dan kurang dari 3 suku kata.<br /><br />Misalnya. Astraworld, “my driving partner”. Mungkin kata kuncinya adalah total solusion services atau hassle free services. Namun Astra mungkin tidak mau memakai kata yang umum seperti itu sehingga menciptakan kata My Driving Partners yang ekpresinya pas sekali dengan total solusion services.<br />“Apapun makanannya, minumnya Teh Botol Sosro” mungkin ditarik dari kata kunci “semua (everything)” dan juga dicocoknya dengan segmentasinya yang ditetapkan tidak mengenal batasan.<br /><br />Dua kata kunci tersebut sekali lagi cocok dengan daya saing produknya sehingga Anda pun harus mengecek kembali tagline yang baru saja Anda rumuskan apakah sesuai kinerja produk Anda. Jangan mengorbankan kredibilitas brand Anda dengan membuat tagline yang ASBUN—Asal Bunyi!Marketing Gameshttp://www.blogger.com/profile/05574923392063917331noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4411785648168729661.post-62366628649915874432009-06-14T15:27:00.000+07:002009-06-14T15:34:18.393+07:00Krisis Saatnya Provocative Selling(diterbitkan untuk InfoFranchise). Siapa fungsi yang paling menderita saat krisis melanda? Bukan keuangan, bukan sumber daya manusia, bukan marketing, bukan PR, tapi penjualan (selling). Bagaimana tidak wong reaksinya langsung. Prospek tiba-tiba minta harganya diturunkan kalau enggak mereka membantalkan transaksi, padahal sudah closing sebelumnya. Manajer pembelian tiba-tiba memberitahu bahwa wewenang keputusan pembelian berubah, karena harus minta persetujuan direktur utama, padahal order sebelumnya persetujuan cukup sampai manajer pembelian. Teman saya yang jualan produk IT juga terpaksa gigit jari karena prospek bilang: “Maaf karena krisis kita belum bisa menambah investasi infastruktur, nanti ya setelah kondisi membaik.” Teman satu lagi yang di media bilang bahkan prospek yang sudah OK mau pasang iklan akhirnya minta ditunda, juga dengan alasan yang sama: KRISIS!<br /><br />Jadi krisis ini memang musuhnya penjualan. Kalau kemarin rumah sakit jiwa di Indonesia telah menyiapkan kamar khusus untuk politisi yang stres akibat kalah Pemilu, barangkali perlu juga disediakan kamar khusus untuk para penjual yang stres akibat krisis. Namun tidak bagi penjual yang menyimak tulisan ini.<br /><br />Provocative selling membuat prospek kuatir bahkan mimpi buruk jika tidak membeli.<br /><br />Dalam situasi krisis seringkali logika menjadi tumpul. Barang bagus menjadi kelihatan jelek, penawaran super menjadi kelihatan biasa. Oleh karena itu, penawaran yang sifatnya taktikal, tidak mencoba mempengaruhi emosi pelanggan bakal mentok. Hanya penawaran yang memprovokasi prospek untuk larut dalam “kekuatiran” yang bakal closing. Terus terang saya mendapat insight ini dari teman saya salesman mobil. Sebut saja namanya Herman.<br /><br />Herman pintar sekali membuat saya kuatir untuk tidak membeli mobil jualannya. Saya masih ingat teknik jualannya, dan saya golongkan menjadi tiga tahap. Tiga tahap itu setelah saya pikir dirumah ternyata bersifat universal sehingga saya ingin membaginya ke Anda.<br /><br />Teknik #1: Herman mengajukan pertanyaan dan opini yang sifatnya faktual. Daftar pertanyaannya adalah sebagai berikut:<br />“Mobil Bapak sekarang apa?”<br />“Bapak senang/puas dengam mobil Bapak?”<br />“Bagaimana anak istri, puaskan?”<br />“Oo begitu, jadi mobil Bapak sedan, jadi susah donk kalau ada saudara datang dari kampung mo ngajak jalan-jalan?<br />“Menurut survei, pembeli mobil keluarga kami adalah eksekutif muda seperti Bapak yang baru tahu kebutuhan setelah anak pertama lahir?”<br />“Menurut survei, orang yang membeli mobil ini rata-rata lima tahun tidak ganti mobil, malah tambah mobil kecil karena sayang untuk dijual soalnya asik buat rame-rame pergi bersama keluarga.”<br />“Coba Bapak lihat teman kantor, berapa orang yang memakai mobil ini, banyak khan?”<br />Pertanyaan di atas adalah teknik yang disebut dengan teknik mengunci masalah pelanggan. Tapi jangan main-main dengan metode ini kalau Anda tidak mempunyai pemahaman yang cukup tentang prospek karena kalau salah terka maka dalam sedetik kredibilitas Anda hancur karena sok tahu. Herman mengajukan pertanyaan di atas sebagai prakondisi menuju klimaks.<br /><br />Di sini prospek dibuat berkata “iya” dengan tanda-tanda: Bahasa tubuh gelisah, tangan bersedekap, memegang janggut atau perut, mengelus rambut, mata meleng kanan-kiri, mondar sana-sini, dan mulai memegang-megang produk berulang kali tanpa alasan yang jelas. Ini tanda sinyal pembelian telah muncul. Perhatikan prospek-prospek Anda, apakah mereka juga berperilaku serupa?<br /><br />Bahasa tubuh saya kalau sedang gelisah adalah mengelus rambut dan jalan mondar-mandir. Dan itulah yang terjadi waktu Herman selesai mengajukan pertanyaan retorik sebagai penanda teknik pertama.<br /><br />Herman berhasil menemukan masalah yang membuat saya tidak tenang Dia juga memberikan contoh “pesaing” saya yang menggunakan mobil yang sama. Dia berusaha merubah pola pikir saya tentang sebuah mobil untuk keluarga, bukan sedan namun MPV merek X. Jika Barack Obama mengusung tema “change” dan menang maka siapapun penjual yang ingin closing di kala krisis juga harus berusaha mengusung tema “change” kala memprospek klien. Change selalu membuat orang tidak tenang dengan segala macam keputusan yang telah dia lakukan sebelumnya. Change langsung mengarah kepada harapan tentang situasi baru yang lebih memuaskan. Setelah berhasil menyakinkan, barulah masuk ke langkah berikutnya.<br /><br />Teknik#2, menceritakan kisah bahagia pengguna MPV brand X<br />Herman bertanya:<br />“Gimana pendapat teman Bapak tentang MPV brand X ini, mungkin pernah dengar?”<br />Setelah saya menjawab, Herman menimpali opini saya:<br />“Oya, itu persis dengan pengalaman orang-orang yang beli mobil ini dari saya, katanya mantap, powernya besar, bisa muat bahkan sampai delapan orang dewasa, tangguh, dan cocok untuk melidas segala medan termasuk kala Jakarta banjir. Meski BBM aga boros sedikit dibanding pesaing.<br /><br />Ini yang disebut teknik bercerita (story telling) yang menguatkan sinyalemen adanya masalah dalam diri prospek. Menurut hasil riset penjualan, dampaknya besar apalagi jika diperkuat dengan intonasi dan bahasa tubuh yang selaras dengan pesan. Tapi jangan coba-coba berbohong-tidak jujur apalagi mengarang cerita. Teknik-teknik manipulatif sudah usang karena seringkali pelanggan lebih tahu detail produk dibandingkan penjual. Hindari berbohong soal keunggulan dan kelemahan produk karena itu bukan tugas Anda sebagai penjual melainkan tugas engineer atau manajemen perusahaan Anda. Sekarang prospek berhubungan dengan penjual ingin mendapat hubungan yang hangat dan jujur, bukan lagi sekadar informasi produk.<br /><br />Teknik#3, memberikan solusi pembiayaan/investasi.<br />Kalau cerita Anda berhasil mengaduk kekuatiran dan memberikan solusi atas masalah yang baru saja dipahami klien, maka langkah terakhir adalah memberikan solusi taktis agar prospek bisa mewujudkan impiannya memiliki produk yang Anda tawarkan. Ingat prinsip dalam mengelola krisis atau bertahan (survival) bukan meningkatkan pangsa pasar (market share) apalagi laba (profit margin). Jadi, buang jauh-juah pikiran untuk menengguk manisnya bonus seperti sebelum krisis. Bantulah pelanggan dan dapatkan bonus Anda yang wajar.<br /><br />Herman menawarkan saya berbagai kemudahan dari mulai keringanan DP, bunga ringan, sampai berbagai macam hadiah langsung. Ini membuat saya semakin kuatir untuk tidak melewatkan tawaran itu, apalagi dikasih embe-embel hanya untuk bulan ini!<br /><br />Jika penawaran Anda sudah sangat profokatif secara emosi, maka dalam harga dan cara pembayaran juga harus profokatif. Tidak selalu harus diskon besar-besar, melainkan fasilitasilah prospek dengan kredit lunak, pembayaran yang bisa diangsur lebih panjang, kuota yang lebih ringan, dan lain sebagainya asal prospek yang sudah memutuskan tidak membeli akhirnya bisa ditarik lagi menjadi pelanggan (winback).<br /><br />Upaya fungsi penjualan ini harus mendapat dukungan dari fungsi lain. Bagi manajemen kalau mungkin evaluasilah tahapan bisnis Anda siapa tahu masih ada proses yang bisa Anda efisienkan (cost innovation) sehingga Anda bisa memberikan “kemudahan” yang lebih kepada pelanggan. Hindari potong harga yang tidak memperhatikan struktur biaya (price reduction). Bagi seluruh staf perusahaan di semua fungsi, ingatlah krisis adalah saatnya berinvestasi, sabar dulu, pasca krisis bolehlah kita bicara profit margin, bonus, dan insentif seperti biasanya. Selamat berjuang, sampai jumpa di ujung kesuksesan pasca krisis!Marketing Gameshttp://www.blogger.com/profile/05574923392063917331noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4411785648168729661.post-86732900867368770042009-04-07T16:22:00.002+07:002009-04-07T16:27:49.459+07:00Brand itu Seperti Donat<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEifaj5M8zu5ByqgOVWk2irgKLR5YurxMzeLo7B-Gme0ABnkEgTD0gBm41VjtpCw1FFaKaKHXwJjY5aPzb9F7RH__ah62hKeH1FgKkTI4RC8_pQJ7rPWOYa3trog4Bxw_XhFjMg3PTQW2dRQ/s1600-h/KRISPY-KREME-WHOLE-WHEAT-400.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5321878512074637506" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 400px; CURSOR: hand; HEIGHT: 364px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEifaj5M8zu5ByqgOVWk2irgKLR5YurxMzeLo7B-Gme0ABnkEgTD0gBm41VjtpCw1FFaKaKHXwJjY5aPzb9F7RH__ah62hKeH1FgKkTI4RC8_pQJ7rPWOYa3trog4Bxw_XhFjMg3PTQW2dRQ/s400/KRISPY-KREME-WHOLE-WHEAT-400.jpg" border="0" /></a> Menyampaikan sebuah konsep dengan bahasa lebih sederhana ternyata jauh lebih sulit dibandingkan menyampaikan dengan bahasa yang panjang dan lebar. Apalagi jika lawan bicara adalah orang awam. Alkisah mahasiswa di kelas saya bertanya di akhir sesi perkuliahan, “ Pak apa sich sebenarnya esensi dari konsep brand yang disampaikan selama dua jam ini?”<br />Waduh, seketika saya kaget harus jawab apa? Dua jam saya nerangin konsep brand dari mulai perbedaan brand vs produk. Bahwa brand itu dibangun di otak pelanggan sedangkan produk dibangun di pabrik, sampai konsep brand equitynya David Aaker bahwa ekuitas (nilai) sebuah brand dibentuk oleh lima elemen yakni pupularitas (awareness), persepsi akan kualitasnya, asosiasi brand apakah positif ataukah negatif, daya saingnya, dan aset lain. Lima elemen itupun sudah saya detailkan satu per satu bahkan saya lengkapi dengan contoh kasus. Masak dia nggak paham, sedang teman-teman lainnya mengerti?<br />Jadi, saya duga dia tidak mungkin nggak paham. Saya simpulkan pertanyaan justru pertanyaan ujian buat saya dari seorang yang tahu tentang brand dan branding.<br />Kira-kira tiga kedipan mata, langsung saya teringat pada donut yang dibawakan istri tercinta untuk sarapan saya. Bentuknya bulat tengahnya kosong, dan ada berbagai macam taburan coklat di atas permukaannya. Seketika saya sadar bahwa itulah brand..Ya, Brand itu seperti tengahnya donat, KOSONG!. Sedangkan taburan coklat yang ada di atas permukaan itulah BRANDING—segala macam aktivitas yang membuat brand mempunyai identitas, karakter, dan hidup di hati pelanggan.<br />Brand pada level 1 hanyalah sebagai identitas (level 2 adalah brand bagian dari citra individu dan budaya masyarakat). Makanya brand di level 1 identik dengan logo.”Brand ya logo, logo ya brand, gitu aja kok repot, “ kata teman bisnis saya. Pada level 1 memang brand hanyalah berfungsi tidak ubahnya seperti merek dagang lengkap dengan logo dan identitas visualnya. Inilah yang saya sebut BRAND ITU KOSONG, kayak tengahnya donat!<br />Percuma anda punya logo yang bagus dan trendy tapi tidak dihidupkan! Apalagi jika brand Anda secara visual sangat kece tapi kualitas isi dan hantaran servisnya payah! Itu bagaikan ORANG JELEK PAKE BAJU BAGUS—Sementara orang lihat dari jauh keren, tapi begitu dekat kecewa, “ Ach ternyata orangnya jelek, bajunya doank yang bagus.” Tapi bukan berarti pakai baju bagus salah? Brand bagus adalah awal yang baik untuk menuju sukses. Lebih baik khan orang jelek pake baju bagus daripada orang jelek tapi tetap saja nekad pake baju jelek? Hasilnya JELEK KUADRAT!<br />Brand itu bajunya, sedangkan hasil dari aktivitas Branding itu karakter orangnya yang cakep. Brand itu tengah donat yang kosong (gak ada apa-apanya), sedangkan Branding akan menghasilkan taburan coklat warna warna yang memukau mata, dan kalau “di makan” rasanya mantap bukan main sampai kita nambah ingin makan lagi.<br />Seketika mahasiswa saya menggangguk tanda puas, nggak berani tanya lagi!<br /><br />Kesadaran Brand &Branding Itu Level 2 Bisnis Franchise.<br />Ada seorang pembicara bertanya retorik kepada peserta seminar,” Apa kunci sukses bisnis franchise?” Ia pun menjawab sendiri, “ Ada dua yakni hubungan dan sistem.” Sebenarnya di lubuk hati saya menunggu-nunggu jawaban ketiga. Apa itu? BRAND.<br />Coba pikirkan, “ Apa yang dibeli orang dari bisnis franchise mahal-mahal?” Jawabnya adalah ekuitas-nilai brand (brand equity) . Hubungan dan sistem hanyalah pembentuk ekuitas brand. Dua-duanya adalah variabel independen yang saling bersinergi dengan variabel independen lain sehingga meningkatkan atau menurunkan ekuitas brand.<br />Mengapa Anda membeli franchise Mc Donald? Karena ekuitas brand Mc Donald itu seharga US$ 31 milyar (data Best Global Brands, Interbrand 2008). Franchisor apa saja pasti menawarkan harga hak franchise di atas biaya investasi riel. Misalnya, kalau hanya dinilai dari sistem, prosedur, network, atau infrastruktur yang diberikan, barangkali Anda tidak layak membayar ratusan juga untuk membeli hak franchise sebuah bengkel motor atau salon mobil. Menjadi layak lantaran Anda melihat brandnya populer, asosiasinya selalu bagus, dikenal berkualitas, berdaya saing, dan lain sebagainya. <br /><br />Menjadi layak karena Anda tidak perlu melakukan jerih payah seperti dilakukan sang franchisor dari awal lahir sampai sukses. Jadi, layaklah kalau brand is priceless-Saking mahalnya brand itu bahkan takternilai. Mahalnya karena proses membangun brand tidak bisa diduplikasi seperti Anda membuat produk. Strategi branding yang sama tidak akan menghasilkan dampak yang sama ketika lingkungan bisnis berubah.<br />Brand juga harus terus dijaga dengan akivitas branding yang konsisten. Saya amati dalam beberapa kasus pada saat awal mewaralabakan, franchisor getol beriklan, melakukan kegiatan publisitas, sehingga menjadi terkenal dan menyedot perhatian masyarakat. Produknya pun sangat dijaga dari penurunan kualitas. Namun, begitu sukses mendapat banyak franchisee, upaya branding ini tidak dilanjutkan lagi sehingga dua-tiga tahun kemudian, brandnya tenggelam digilas pendatang baru. Oleh karena itu, bagi teman-teman pembaca yang ingin membeli hak franchise selain sistem, network, support, juga perlu dilihat apakah franchisor punya visi dan rencanya detail tentang brandnya. Punya nggak dia rencana aktivitas branding yang konsisten dari tahun ke tahun? Tanyakan tahun pertama sebagai franchisor akan melakukan apa? Tahun kedua akan melakukan apa, dan seterusnya. Kemana brand akan diposisikan, apa keunikannya sekarang, apa keunikan selanjutnya yang ingin dibangun? Berapa budget iklannya setahun? Dan lain sebagainya. Kalau ada berarti patut untuk dipilih.<br />Ingat bahwa membeli hak franchise adalah membeli kesuksesan di masa datang, bukan kesuksesan hari ini. Karena bisa jadi hari ini si franchisor sukses, tapi kalau tidak ada visi yang jelas dan detail bisa jadi kesuksesan hari ini tidak akan langgeng menjadi kesuksesan yang akan dirasakan franchisee. <br />Akhir kata saya ingin bilang, “ Tolong jangan kalau beli franchise jangan beli pabriknya, tapi belilah pelanggannya.” Produk di pabrik sedang brand di benak pelanggan. Kalau di benak pelanggan nilai brand tidak dijaga, pabrik bisa tutup saat itu juga. Tapi kalau pabriknya tutup, sepanjang pelanggan masih suka, kita bisa cari pabrik lain yang bisa membuat produk lebih bagus dan lebih murah. Setuju nggak?<br /><div></div>Marketing Gameshttp://www.blogger.com/profile/05574923392063917331noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4411785648168729661.post-87562673274820375762009-01-18T23:10:00.001+07:002009-01-18T23:19:48.056+07:00BATIN BERLOGIKA, PIKIRAN MERASA<strong>“Batin Berlogika, Pikiran Merasa”</strong><br /> Dalam acara ultah Info Franchise yang ke-3 kemarin, saya diminta mbak Dona Oriza naik ke podium, menjawab satu pertanyaan:” Apa kesan Bapak mengenai Info Franchise?” Jawaban paling gampang adalah majalahnya bagus, isinya ok, iklannya memuaskan, dan lain sebagainya.<br />Namun bagi saya pertanyaan itu sangatlah serius. Dengan kata lain Dona sebenarnya bertanya: “ Bagaimana brand Info Franchise setelah tiga tahun berdiri.” Jawaban saya adalah Info Franchise lahir dengan diferensiasi yang solid dan fokus hanya bicara tentang franchising dan kebetulan market franchising sedang tumbuh sehingga Info Franchise pasti berprospek cerah. “Lagi-lagi diferensiasi,” mungkin ada audience yang berguman demikian. Namun faktanya memang diferensiasi adalah roh kesuksesan produk apapun. Gampang dan enak dibicarakan namun susah mendapatkannya.<br /><br />Diferensiasi dalam dua kubu dibagi dua yakni kandungan produk (content), kemasan produk (context). Kemasan disini bukan saja berarti kemasan harfiah (baca: bungkus) namun juga kemasan emosional yang dibentuk oleh proses branding yang baik. Saya ada di area kedua ini.<br />Karena saya percaya, fitur produk hanyalah pemuas kebutuhan, sementara penampilan (context) adalah penghilang kekuatiran pelanggan.<br /><br />Kualitas berita di Info Franchise hanyalah pemuas kebutuhan orang yang cari info tentang apa yang sedang terjadi di dunia franchising. Tapi tampilan cover, layout dan gaya bahasa adalah kemasan yang menciptakan dorongan emosional untuk membeli. Kalau majalahnya disegel, praktis hanya cover story yang mendorong pembelian. BATIN BERLOGIKA: “Rasanya dengan tampilan, dan judul cover tersebut, pasti isinya menarik.” Lalu diikuti dengan respon: “Jadi saya harus membeli,”kata OTAK YANG MERASA. Mengapa? Karena tidak ada fakta yang bisa dicek pelanggan wong sampulnya disegel—nggak boleh dibuka sebelum dibeli).<br /><br />Batin (sisi emosional) Anda berlogika dulu, kemudian baru pikiran akhirnya menyimpulkan secara logis isinya pasti bagus. Visualisasi mendorong menculnya persepsi sesaat sebelum indera meng-approve tentang tingkat kebenarannya. “Perception is reality”. Oleh karenanya, sudah saatnya para franchisor lebih memperhatikan identity-visualnya baik di tingkat produk maupun korporat (logo, poster, flyer, stationary, website, company profile) yang mendorong terciptanya citra positif di mata calon franchisee, khususnya menjelang event Franchise & Business Concept Expo 2009 yang akan berlangsung Maret 2009 mendatang.<br /><br />Identity is Destiny<br />Apa brand yang identitasnya termasuk paling jelas dan dikenal sepanjang masa? Saya menjawab, BAJAK LAUT. Anda bisa lihat di film apapun, dalam cerita versi apapun, bendera bajak laut pasti berwarna hitam, dengan lambang tengkorak-golok menyilang berwarna putih. Identitas individualnya juga jelas dan konsisten yakni bertato, gembel, ikat kepala atau topi, tangan buntung atau mata buta sebelah dengan pembawaan yang urakan khas penjahat kelas teri. Dengan modal identitas yang konsisten itu, kemanapun mereka pergi, aura ketakutan selalu menyeruak di hati para awak kapal dagang ketika melihat sebuah kapal berbedera hitam dan berlambang tengkorak-golok menyilang warna putih, meski belum terlihat jati diri awak kapal yang sebenarnya. 1000% ketika orang visualisasi lambang bajak laut, 1000% persepsinya sama (Pasti Bajak Laut) dan reaksinya sama, TAKUT sekaligus MENGHORMATI. Artinya “brand visual” bajak laut telah memotong alur berpikir dan bertindak runtut khas otak mamalia, namun langsung ke otak reptil yang mengambil reaksi spontan.<br /><br />Pemilihan visualisasi brand yang baik sehingga menciptakan identitas yang relevan dengan diferensiasi dan kinerja produk-korporasi akan menciptakan efek bola salju serupa. Pengalaman saya ketika ikut tim konsultan rebranding BNI beberapa tahun yang lalu, setelah beberapa bulan mengganti logo dan menggerakkan aktivitas komunikasi, persepsi positif BNI menjadi lebih tinggi khususnya dari dampak penambahan warna orange yang berkesan segar, moderen, dan muda. Demikian juga pengalaman seorang teman konsultan brand, ketika membantu sebuah sekolah yang dahulu logonya sangat tradisional hanya berupa buku menjadi lebih moderen bergaya simbolik moderen, riset menunjukkan dampak positif yang memperjelas diferensiasi.<br /><br />Saat ini yang secara visual menjadi tren sesuai dengan paradigma perubahan dunia dan strategi umum perusahaan adalah bentuk-bentuk tiga dimensi, membulat, transparan, warna candy hijau-biru-merah, atau pun bentukan elastis menyerupai pita, atau tetesan air. Hal ini sesuai dengan tren dunia yang semakin menghargai transparansi, good corporate governance, risk management, horizontal communication, tanpa sekat dan egalitarian. Jadi jika logo Anda sekarang masih bernuansa “masa lalu” sedangkan target market Anda atau strategi Anda termasuk “emerging” maka kinerja bisnis pasti akan lebih maksimal jika Anda mengganti logo yang diikuti kegiatan aktivitasi terkonsep.<br /><br />Intinya visual ekspresi yang baik dan relavan akan menciptakan “respect” bagi pelanggan dan masyarakat, dan menciptakan “honor” bagi pegawai dan manajemen. Kasus re-branding Pizza Hut juga menjadi bukti bagaimana branding bisa membawa dampak positif kepada “mood” pelanggan Pizza Hut dan antusiasme frontliner dalam melayani pelanggan. Selamat tahun baru, brand baru!Marketing Gameshttp://www.blogger.com/profile/05574923392063917331noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4411785648168729661.post-9114934710547962822008-12-24T16:04:00.007+07:002009-01-17T15:30:48.430+07:00Brand-Based DesignTeman,<br />Barusan aku habis balik dari Univ.Paramadina,diundang sharing session jurusan DiskomVis (Desain komunikasi visual) untuk masalah branding. Dan kagetnya adalah di akhir session para dosen meminta saya membantu mengajar sebagai dosen luar biasa di jurusan itu.<br />Rupanya ada gebrakan baru dari DiskomVis Paramadina. Sadar akan perubahan dan tantangan pasar mereka mulai membangun kompetensi baru bagi mahasiswanya yakni bukan sekadar desainer yang tahu bagaimana membuat desain produk yang bagus tapi juga saleable dan sesuai dengan strategi marketing dan branding. Mereka ingin mengubah pandangan dari menjadi desainer yang production oritented (pintar bikin desain indah) " paham how to" menjadi desainer yang tahu strategik "paham why dan what nya".<br /><br />Presentasi yang saya siapkan tentang research on branding menjadi inspirasinya. Cerita saya tentang beberapa produk yang pernah saya terlibat membangunnya memperkuat alasan untuk berubah. Sudah saatnya DiskomVis Paramadina menemukan new differentiation yang strong di market. Aligning tactical skill di desain dengan strategic marketing & branding knowledge dipercaya akan menjadi energy untuk stand out dan out of the crowd.<br /><br />Tahun ajaran baru ini saya rencaba diminta mengajar research on brand tiap rabu jam 7 pagi. Semoga amanah baru ini menjadi penyeimbang diantara kehidupan profesional yang telah saya jalani selama ini. Amien...Marketing Gameshttp://www.blogger.com/profile/05574923392063917331noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4411785648168729661.post-82394753265499552992008-12-15T18:13:00.003+07:002008-12-15T18:49:06.166+07:00Mau Prospek kok di ClosingKisah ini benar terjadi, bahkan baru saja saya alami, dan celakanya pertama kali baru kejadian sejak saya menekuni dunia konsultan tahunan...Mau mem-prospek kok malah di closing<br /><br />"Drama"hidup ini terjadi pertengahan November kemarin. Alkisah seorang temen, seorang call center consultant, mengajak saya ke sebuah yayasan untuk pengembangan orang buta. Katanya, "kamu bisa membantu yayasan ini kasihan sudah 17 tahun berdiri kok ndak maju2 padahal misinya mulia yakni memberdayakan orang buta." Meski hari ini ada setumpuk PR riset dan observasi untuk presentasi ke klien namun hati saya telah berhasil mematikan setan logika. Serentak saya bersemangat, bangkit dan antusias padahal sebelumnya badan terasa sakit sekali digerakkan apalagi membayangkan harus menyetir ke arah jakarta selatan yang super macet.<br /><br />Kami berdua meluncur penuh semangat, kami memutar JORR sampai Pondok Indah kemudian mengarah ke tujuan. Sepanjang perjalanan saya dan teman berkelakar seperti biasanya, cerita sana sini soal marketing bisnis dan kehidupan pribadi, tidak ada firasat sama sekali kami akan "dikerjain" (baru tahu khan kalau konsultan pun sering dikerjain orang hehehe)<br /><br />Nah sampai disitu saya diperkenalkan dengan semua staf yang sebagian besar buta. Hati saya langsung mengucap syukur bahwa masih diberi dua pupil yang indah dan fungsional ini. Tapi saya tidak melihat satu aura pun kesedihan apalagi putus asa di dalam bangunan sederhana itu. Bahkan sebaliknya antusiasme dan percaya diri sangat kental, terlihat dari cara mereka menjabat tangan dan mengucap salam kepada saya meskipun mereka tidak tahu persis posisi saya.<br /><br />Saya pun berkenalan dengan pemimpin dan semua kolega di yayasan tersebut. Seperti biasanya obrolan pun mengalir dari topik personal dan kemudian dilanjutkan dengan topik agak serius seputar bisnis. Setelah teman saya menjelaskan tentang call center panjang lebar sampai akhirnya pertanyaan menjurus ke branding yang tiba-tiba menohok ke saya.<br /><br />Saya pun menjawab dengan sejelas2jelasnya bahkan seperti memberikan one day training. Tak terasa telah satu jam saya berbicara marketing dan branding bahkan sampai tactical idea pun saya sampaikan. Meskipun saya tidak tahu pasti tapi saya "merasa" kedatangan saya "berguna dan mencerahkan"dari gesture dan karakter suara (thank pak luthfie utk tekniknya)<br /><br />Salah satu poin yang saya katakan adalah: " call center marketing adalah lahan yang tepat untuk orang2 buta selain publishing atau health therapist karena call center membutuhkan seorang yang berjiwa empati sehingga bisa merasakan respon pelanggan hanya dari voice nya saja. Dan saya yakin teman-teman yang buta memiliki kelebihan di sisi tersebut."<br /><br />Namun beberapa saat salah seorang audience berdiri dan beranjak keluar. Tanpa sadar tak sampai semenit dia sudah berada di samping saya, katanya: " Pak Anke,Pak Lutfie saya sudah mendengar tips selling dan branding dari bapak sekalian, nah ini saya ingin praktik persistent selling." "O ya maksudnya apa?", tanya saya. "Gini pak, kami punya paket buku dan CD seharga 135.000 kalau bisa bapak bisa berpartisipasi dengan membelinya."<br /><br />Wah, kontan saja saya kaget begitu juga pak Lutfie. Saya langsung lemes dan merasa tidak berarti sama sekali. Dua jam lebih kami meluangkan waktu dan itupun DIUNDANG bukan kami datang dengan inisiatif sendiri, namun malah di prospek dan langsung ditohok closing. Katanya, "mempraktikkan ajaran kami".<br /><br />Saya bilang ndak pernah dalam sesi dua jam itu kami mengajarkan hal seperti ini (dalam hati karena takut melukai perasaan mereka). Kami bisa saat itu membayar 135.000 tapi bukan segitu harga kami kalo mo minta sumbangan, diri ini merasa terhina-dina karenanya.<br /><br />Akhirnya kami pun "cabut" dari yayasan tersebut dan sama-sama belajar bahwa men-judge orang yang "disable" bahwa mereka mempunyai indra keenam dan lebih sensitif dibandingkan orang normal ternyata bisa keliru. Melihat orang cacat "punya kelebihan" sama salahnya dengan melihat orang sempurna "punya kekurangan". Yang benar, kita harus berpandangan netral tidak boleh terjebak melihat atribut fisik. Saya jadi teringat tukang ngemis di perempatan yang saya lalui setiap hari, mereka justru mengekploitasi kecacatan mereka untuk "menjerumuskan"orang normal mengasihani mereka. Ini kebiasaan dan budaya yang SALAH di masyarakat kita, orang lemah selalu ditolong dan didorong untuk selalu merasa LEMAH! Tidak pernah kita benar-benar MEMBERDAYAKAN mereka dan MENGHORMATI mereka seperti insan normal dengan memberi perlakuan yang sama dengan orang normal.<br /><br />Mungkin pandangan ini salah, jadi nggak perlu Anda mengikuti, cukup saya saja!Marketing Gameshttp://www.blogger.com/profile/05574923392063917331noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4411785648168729661.post-64670781416167358412008-12-11T17:47:00.001+07:002008-12-11T17:51:31.694+07:00SEKOLAHpun SADAR MARKETINGTahukan Anda industri sekolah nasional plus telah tumbuh lebih dari 100% setahun?<br />Saat ini terdapat lebih dari 200 sekolah golongan national plus di seluruh Indonesia. Padahal pada saat kran pendidikan mulai dibebaskan untuk asing masuk ke Indonesia pada medio 2000, kategori sekolah national plus hanya diisi tidak lebih dari 10 sekolah, itupun hanya tersebar di Jakarta saja. Angka 200 inipun masih bisa bertambah jika lembaga pra sekolah dimasukkan ke dalamnya. Artinya ketegori “plus” ini semakin ranum di masa depan, tidakkah Anda ingin masuk?<br /><br /><br />Institusi Pendidikan dan Industri Pendidikan<br />Jika Anda jujur mau melihat realitas maka Anda akan setuju jika saya menyebut ada dikotomi dalam pendidikan di Indonesia. Satu kutup bernama Institusi pendidikan dan satu kutup bernama industri pendidikan. Kutup pertama dihuni komunitas sekolah nasional milik pemerintah yang murah, generik, dan kaku. Sedangkan kutup kedua dihuni sekolah internasional dan sekolah national plus yang mahal, customized, fleksibel, dan menawarkan nilai lebih. Ibarat obat sekolah nasional milik pemerintah adalah obat generik dan sekolah nasional plus adalah obat bermerek terkenal. Layaknya obat bermerek, industri pendidikan jelas menawarkan manfaat lebih, bukan hanya functional benefit namun juga emotional benefit bahkan spiritual benefit. Tidak hanya menawarkan pengembangan sisi intelektual anak (IQ) layaknya sekolah negeri-pemerintah, sekolah nasional plus juga menumbuhkembangkan kemampuan emotional dan spiritual anak sehingga segala macam bakat dan potensinya keluar menjadi kompetensi yang berdaya saing tinggi.<br /><br />Jadi kemudian wajar jika sekolah untuk golongan masyarakat menengah ke atas ini mematok uang pendaftaran dan SPP yang lebih mahal. Hasil riset saya ke beberapa sekolah national plus di Jakarta menunjukkan orang tua harus minimal harus mengeluarkan 15 juta setahun untuk biaya pendidikan sekolah nasional plus yang di grade 3, itupun belum termasuk biaya ekstrakurikuler, makan dan transportasi. Sedangkan apabila mereka ingin menyekolahkan anaknya ke sekolah national plus grade 2 yang lebih tinggi, orang tua harus menyiapkan 30-50 juta rupiah setahun. Namun jika belum puas juga, orang tua bisa memasukkan anaknya ke sekolah nasional plus grade 1 yang berbiaya sekitar Rp. 50-100 juta per tahun. Meski menguras isi kantong, sekolah national plus ternyata sangat diminati, terbukti pertumbuhan per tahunnya di atas 100 persen.<br /><br />Sekolah Nasional Plus Sudah Menjadi Kebutuhan Masyarakat Perkotaan.<br />Masa sekarang disebut era informasi karena manusia telah berhasil menciptakan piranti teknologi yang membuat akses informasi menjadi tanpa batas. Dimulai dari ditemukannya personal computer, lalu internet yang bisa menghubungkan antara komputer di seluruh dunia dan membentuk dunia maya. Informasi menjadi hak semua orang yang mudah diakses kapanpun dan dimanapun.<br /><br />Dengan kondisi demikian harusnya manusia semakin bahagia, namun ternyata yang terjadi sebaliknya manusia justru semakin gelisah. Dulu orang mengatakan kalau saya bisa mendapatkan informasi lengkap maka saya bisa mengambil keputusan lebih baik, namun buktinya sekarang semakin banyak informasi yang masuk justru manusia dibuat kewalahan.<br /><br />Kejahatan sekarang bukan masuk melompati pagar rumah Anda namun masuk melalui gelombang radio yang tertangkap perangkat televisi dan komputer Anda yang terhubung ke internet. Informasi yang seharusnya hanya boleh dikonsumsi orang dewasa, sekarang merebak menjadi informasi yang bisa dikonsumsi semua orang di segala umur, termasuk anak-anak. Sangat menggelisahkan bukan?<br /><br />Di sisi lain orang tua semakin hari semakin sibuk dengan urusan pekerjaannya. Mereka bekerja lebih dari 10 jam sehari 5 hari seminggu. Waktu untuk anak dan keluarga menjadi barang langka yang tidak tergantikan. Orang tua seakan menjadi kurang waktu untuk mendidik anak-anaknya secara baik. Tidak seperti di era terdahulu di mana orang tua selalu mengantar tidur anaknya, menungguinya saat mengerjakan tugas sekolah, dan berbagi cerita tentang kehidupan sambil minum teh di sore hari. Orang tua sekarang mana sempat!<br /><br />Para orang tua sadar dengan keterbatasan ini, mereka tidak bisa memilih bagaikana dua sisi mata uang yang sama-sama berharga—pekerjaan atau anak. Namun masalah ini menjadi terselesaikan manakala sekolah nasional plus lahir di tanah air. Sekolah nasional plus bukan hanya mengambil peran sebagai guru namun juga sebagai orang tua yang membangun karakter anak, mengenalkannya terhadap Tuhannya dan nilai keluhuran bangsanya.<br /><br />Sekolah nasional plus mengadopsi sistem full day school sehingga orang tua yang bekerja tidak merasa kuatir dengan aktivitas anaknya sepulang sekolah. Saat jam reguler selesai, siswa sekolah nasional plus akan mengikuti kelas tambahan tersebut atau mengerjakan tugas sekolah bersama-sama. Dengan demikian sesampainya di rumah siswa tinggal beristirahat dan sedikit mengulang pelajaran bersama orang tua. Anak senang karena aktivitasnya padat dan tidak membosankan sementara orang tua juga senang karena anak-anak seharian di sekolah belajar, tidak keluyuran ke mall atau pusat perbelanjaan selepas jam sekolah normal. Sekolah nasional plus telah menciptakan solusi atas masalah yang terpendam selama ini.<br /><br />Memilih Franchise Sekolah<br />Jika secara kategoti sekolah nasional pasti berkembang sehingga saya prediksi bakal menjadi bisnis yang menarik Anda masuki, pertanyaan selanjutkan faktor apa yang harus menjadi pertimbangan saat kita mengambil hak franchisenya?<br /><br />Seperti yang telah umum dikenal, bahwa hak franchise bisa Anda dapatkan dari franchisor lokal maupun manca negera, demikian juga di industri sekolah nasional plus. Apabila Anda bermodal besar maka Anda bisa mengambil hak franchise sekolah luar negeri. Seperti yang dilakukan High Scope Indonesia yang mengambil hak franchise dari Singapura. Apabila dana Anda lebih kecil Anda bisa mengambil hak franchise beberapa sekolah nasional plus lokal seperti Sekolah Madania atau sekolah asing yang master franchise telah ada di Indonesia. Beberapa aspek yang harus Anda perhatikan adalah sebagai berikut:<br /><br />Pertama, diferensiasi. Dalam bisnis apapun, diferensiasi selalu menjadi nyawanya karena ia yang menjadi alasan orang membeli produk tertentu relatif terhadap produk lain. Demikian juga dalam bisnis pendidikan, pastikan franchisor Anda memiliki diferensiasi yang solid baik dari sistem dan pendekatan pendidikan, fasilitas maupun dukungan kualitas sumber daya manusia. Sampai saat ini, sistem dan pendekatan pendidikan masih menjadi faktor penentu seseorang memilih sekolah tertentu. Namun pastikan juga sistem pendidikan yang diadopsinya telah terbukti, bukan masih dalam tahap percobaan.Oleh karena itu, saya menyarankan Anda memilih sekolah nasional plus yang telah berusia lebih dari lima tahun dengan asumsi masa lima tahun sekolah telah berhasil melampui masa kritisnya.<br /><br />Semakin unik sistem pendidikan yang ditawarkan berarti akan semakin terbuka peluang sukses karena persaingan menjadi tidak relevan. Sebaliknya semakin generik sistem pendidikan yang ditawarkan akan semakin banyak pesaing yang harus dihadapi.<br /><br />Kedua, brand image Jelas bahwa ketika Anda membeli hak franchise berarti Anda membeli brand. Pastikan bahwa brand franchisor bukan hanya positif namun juga sesuai dengan karakter segmen pasar di lokasi Anda mendirikan sekolah. Sekolah Bina Nusantara misalnya dipersepsikan sebagai sekolah yang mengedepankan IT untuk warga keturunan yang ingin berbisnis. Sebaliknya Sekolah Madania dipersepsikan sebagai sekolah pencetak pemimpin Indonesia masa depan yang tidak berorientasi pada etnis, ras, golongan atau agama. Terakhir Sekolah Pelita Harapan dipersepsikan sebagai sekolah plus untuk orang kristen yang fanatik.<br /><br />Kalau kebetulan di lingkungan Anda banyak warga keturunan maka Sekolah Bina Nusantara barangkali paling cocok. Sebaliknya jika di lingkungan Anda mempunyai etnis beragam atau seimbang antara keturunan dan pribumi dan mempunyai pandangan moderat-universal maka Sekolah Madania yang paling cocok., Sebaliknay apabila di lingkungan Anda banyak terdapat penganut Kristen fanatik, barangkali Sekolah Pelita Harapan yang lebih tepat.<br />Selain itu Anda juga harus mempertimbangkan akankah brand image tersebut akan bertahan lama ataukah akan cepat usang dan tidak bernilai jual karena tidak sesuai dengan tuntutan jaman. Misalnya, tren globalisasi telah menuntut manusia semakin memahami perbedaan dan bersikap toleran. Apakah perubahan ini akan menyebabkan orang semakin menghindari sekolah yang bercitra fanatik terhadap agama tertentu ataukah sebaliknya justru membutuhkan?<br /><br />Ketiga, uang muka dan SPP. Sebagaimana saya katakan di atas dari segi uang muka dan SPP, sekolah nasional plus dibagi menjadi tiga grade yakni grade 1, grade 2 dan grade 3. Semakin tinggi uang muka dan SPP biasanya semakin bergengsi sekolahnya dengan tawaran manfaat yang lebih lengkap. Namun ada beberapa sekolah yang kualitasnya sudah mencapai grade tertinggi namun dari segi uang muka dan SPP masih terjangkau misalnya Sekolah Madania. Sekolah Madania meskipun menawarkan ijazah nasional dan GAC (Global assessment certificate) namun biayanya per tahunnya masih dibawah 15 juta rupiah. Namun jika Anda menyasar segmen yang lebih rendah maka Anda bisa memilih sekolah seperti Al azhar Al ihzar atau Lazuardi.<br /><br />Ketiga, harga angkat hak. Kalau sudah uniknya dapat dan citra mereknya sesuai dan diprediksi mampu bertahan menjawab tantangan jaman, maka langkah terakhirnya adalah melihat harganya. Harga yang dimaksud bukan hanya franchise fee namun juga segala persyaratan yang diwajibkan franchisor dimiliki oleh franchise seperti luas lahan, lokasi lahan, infrastruktur bangunan, bangku-bangku, kualifikasi guru dan lain sebagainya. Ada baiknya pastikan juga apakah franchisor memberikan asistensi guru pada masa awal berdirinya sekolah. Jika tidak,lebih baik mencari franchisor sekolah lain yang memberikan asistensi karena berarti sekolah tersebut bukan hanya berorientasi mencari tambahan uang dari franchise fee namun juga berkomitmen menjaga kualitasnya dalam jangka panjang.Marketing Gameshttp://www.blogger.com/profile/05574923392063917331noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4411785648168729661.post-90496976184101946742008-06-18T07:54:00.003+07:002008-06-18T08:06:07.952+07:00Melejitkan Produk Bisa Menjadi Istimewa: Chicken Story CaseJumat, 13 Juni 2008, jam 17.00-18.00, saya melakukan trial siaran acara radio saya di Dfm 103,4 berjudul Bedah Kuliner Indonesia. Semoga saya acara ini disetujui dan jadi mengudara rutin seminggu sekali.<br />Hadir sebagai pembicara Pak Harry Sanusi, Founder&CEO Kino Group, salah satu grup bisnis terbesar di Indonesia. Tahu produknya Kino khan? Paling terkenal adalah Ovale pembersih wajah.<br />Saya cukup surprise seorang Harry Sanusi berkenan hadir. Dan saya baru tahu kalau Chicken Story, resto ayam panggang, adalah milik Grup Kino. Saya melihat Chicken Story ini inovatif--mencoba melejitkan makanan tradisional indonesia yakni ayam panggang menjadi menu kelas restoran yang disajikan dengan konsep fastfood modern ala Mc Donald.<br />Gerai hicken Story pertama berdiri pada tanggal 18 September 2005 di Plaza Semanggi dengan desain interior yang khas menampilkan visible kitchen. Orang bisa melihat proses memasak ayam panggangnya yang higienis. Sekarang Grup Kini telah membuka 9 outlet Chicken Story di Jakarta. Sebuah ekspansi yang terhitung cepat hanya dalam 3 tahun.<br /><br />Apa yang di share Pak Harry, saya akan menuliskan khusus untuk Anda setelah artikel ini.<br /><br />Sukses<br />AnkeMarketing Gameshttp://www.blogger.com/profile/05574923392063917331noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4411785648168729661.post-72968165268902951382008-02-27T08:16:00.005+07:002008-02-27T09:29:14.475+07:00Sekali Lagi Tentang Positioning?<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg6OUe-KU9vuUV9SDvHjpUsjxUzVugRmBwi4VHUfaNlr_0dTgCu6OcCQT-vCpjNtcOTiO_82bYqteOyFu5qS3P5vALKHRKYK5lfJ5FEagxk_iHqIkxVCajjOQICPilYdbvJDY3cOw4_UZpA/s1600-h/positioning_master_two.gif"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg6OUe-KU9vuUV9SDvHjpUsjxUzVugRmBwi4VHUfaNlr_0dTgCu6OcCQT-vCpjNtcOTiO_82bYqteOyFu5qS3P5vALKHRKYK5lfJ5FEagxk_iHqIkxVCajjOQICPilYdbvJDY3cOw4_UZpA/s400/positioning_master_two.gif" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5171481241510184834" border="0" /></a><br /><br />Milestone dari konsep marketing adalah pemahaman Segmentasi, penentuan Targeting, dan perumusan Positioning. Perumusan<span style="font-style: italic;"> positioning</span> adalah <span style="font-style: italic;">end-result</span> dari kesimpulan kita dalam memandang pasar, dan memilih target yang potensial (* segmentasi dan targeting akan dibahas selanjutnya) sekaligus sesuai dengan sumber daya yang kita miliki. Contoh di atas adalah salah satu end-result dari pemahaman seorang marketer tentang "pasar mobil" dengan membagi menurut dua kategori yakni harga mobil (<span style="font-style: italic;">price</span>) dan konsumsi BBM. Anda pun bisa membuat <span style="font-style: italic;">positioning map</span> berdasarkan kreatifitas Anda dalam melihat pasar misalnya dengan membagi brand berdasarkan harga (<span style="font-style: italic;">price)</span> dan teknologi; harga dan desain; desain dan durability, dan lain sebagainya. Dari <span style="font-style: italic;">positioning map </span>itu Anda bisa melihat dimana posisi brand Anda sekarang dan kemana Anda ingin mengarahkan positioning brand Anda di masa depan.<br /><br />Secara umum Anda ada dua hal yang harus diperhatikan ketika kita menyusun<span style="font-style: italic;"> positioning</span> baru atau merubah <span style="font-style: italic;">positioning</span> yang sudah ada, yakni: manfaat utama yang akan kita tawarkan (apakah <span style="font-style: italic;">benefit leadership, value leadership</span>, ataukah <span style="font-style: italic;">cost leadership</span>) dan point perbandingan yang akan kita pakai (apakah<span style="font-style: italic;"> comparative</span>-membandingkan dengan pesaing dalam hal kesamaan ataukah perbedaannya, ataukah <span style="font-style: italic;">noncomparative</span>-hanya berdasarkan kebutuhan dan ketegori).<br /><br />Contoh jika Anda sekarang brand managernya Chery Tiggo kemungkinan<span style="font-style: italic;"> positioning </span>adalah <span style="font-style: italic;">cost leadership</span> (SUV paling murah di kelasnya-hanya 140 jutaan) atau <span style="font-style: italic;">value leadership</span> (murah sekaligus fiturnya lengkap: mesin 2.0 EMI, ABS-EBD-BA, flexible seating configuration), Kalau <span style="font-style: italic;">benefit leadership</span> tidak mungkin karena secara reliability belum teruji sebagai brand baru.<br /><br />Kemudian ketika menyusun kalimat positioning, brand manager bisa memilih apakah akan menggunakan kalimat bernada comparative (paling dekat adalah Daihatsu Terios) ataukah non comparative, misalnya dengan mengambil <span style="font-style: italic;">angle</span> kalimat dari kebutuhan SUV murah yang menunjang kebutuhan masyarakat akan kendaraan anti banjir.<br /><br />Any comment?Marketing Gameshttp://www.blogger.com/profile/05574923392063917331noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4411785648168729661.post-12833535993071836642008-02-22T08:50:00.006+07:002008-02-22T09:50:43.895+07:00Nasib Pensiunan Beli Franchise?<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgy_cdzfreZgij_C0R1Om8BOBYmQIgjKi2CwASpZ5svyx7lozYXD4FMvKjG8UzaGIbmhC9a-KkEftWmr79Kc3WjwG2aHn81rTyXp2_LqkIebmYvszHtq8MdoGklbZ-zrTZAmT1Xh9oQSYHX/s1600-h/FMPLogo_Final06.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgy_cdzfreZgij_C0R1Om8BOBYmQIgjKi2CwASpZ5svyx7lozYXD4FMvKjG8UzaGIbmhC9a-KkEftWmr79Kc3WjwG2aHn81rTyXp2_LqkIebmYvszHtq8MdoGklbZ-zrTZAmT1Xh9oQSYHX/s200/FMPLogo_Final06.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5169627198617782114" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-family:verdana;">Manusia bisa bertahan sebagai mamalia yang terkuat bukan karena otaknya tapi karena kekuatan emosinya..</span></span><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-family:verdana;"></span></span><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-family:verdana;">Kekuatan ini yang menyebabkan kita bisa mencari jalan keluar atas setiap masalah yang kita hadapi selama ini: <span style="font-style: italic;">the power to survive</span>! Nah dalam kontek bisnis franchise, saya melihat banyak franchisee yang gagal lebih banyak karena ketidaksiapan mental menjadi pengusaha. Apalagi para franchisee yang seumur-umur tidak pernah bersentuhan dengan "ilmu dagang" seperti para pensiunan pegawai misalnya. Menjelang masa terima duit pensiun yang puluhan juta, mulailah mereka mencari alternatif investasi yang paling menguntungkan. Melihat suku bunga deposito yang semakin rendah,membuat mereka berpikir: " <span style="font-style: italic;">Ehmm</span> buka usaha kali ya, Pa/Ma..seperti Pak X itu lho ..kelihatannya gampang cari duit..ya". "Udah kita cari aja bisnis yang setipe yang di-franchise-kan."<br /><br />Setelah melihat-lihat (kebanyakan pake insting karena nggak punya pengetahuan bisnis) kemudian mereka memutuskan salah satu<span style="font-style: italic;"> franchisor</span> yang kelihatan paling menyakinkan (murah f<span style="font-style: italic;">ranchise fee</span>-nya dan adil bagi hasilnya). Singkat cerita toko<span style="font-style: italic;"> franchise</span> mereka berdiri setelah set-up eksterior, interior selesai dan semua sistem dan bahan baku telah dikirim oleh franchisor.<br /><br />Dasar mental pegawai, mereka berasumsi bisnis ini akan berjalan menjadi mesin uang seperti menaruh uang di deposito. Pada bulan pertama mereka masih sering pergi ke toko, berlagak sok tahu dan meminta ini-itu dibenahin oleh pegawai. Bulan berikutnya mereka mulai bosan hanya duduk di pojok toko sambil mengantuk dan kadang mengomelin anak buah spy tidak dikira pembantu. Bulan kedua datang hanya sabtu minggu. Bulan ketiga hanya datang minggu, dan bulan keempat hanya dua minggu sekali dan akhirnya hanya seminggu sekali dengan alasan bermacam-macam.<br /><br />Apa jadinya? toko yang diharapkan menjadi tumpuan pemasukan masa pensiun itu pada bulan keenamnya pun mati suri, dan pada bulan ketujuh terpaksa ditutup karena pendapatannya tidak bisa mengcover sekadar bayar sewa gedung dan listrik. Lalu bulan berikutnya bapak/ibu pensiunan ini memasang iklan di PosKota dengan judul "<span style="font-weight: bold;">DIJUAL peralatan franchise murah!</span>". Sungguh mengenaskan bukan?<br /><br />Nah kalau tidak ingin menjadi <span style="font-weight: bold;">"Pensiunan Penasaran"</span> ada beberapa tips agar Anda terhindar dari "<span style="font-weight: bold;">Jebakan Franchise</span>" di saat pensiun:<br /><br /></span></span><span style="font-size:85%;"><span style="font-family:verdana;">1. Kenali diri Anda apakah Anda mempunyai jiwa entrepreneurship? Pernah tidak berdagang, memimpin<br /> orang, risk taker, creative dan problem solver?<br />2. Kenali motivasi Anda terlebih dahulu? Jika motivasi Anda ingin mencari uang tambahan pensiun maka urungkan niat Anda masuk ke bisnis ini, lebih baik Anda mulai mencari prospektus reksadana yang memberi gain paling besar dan risiko terkontrol?<br />3. Kalau masih penasaran juga bolehlah Anda membeli franchise yang murah di kisaran harga 10 jutaan seperti jualan burger, sebelum Anda memutuskan membeli hak franchise yang ratusan juta. Bisnis ini sebagai pembuktian seberapa kuat Anda menjadi pengusaha?<br />4. Paling aman adalah jika Anda mempunyai teman dekat yang sudah berkecimpung dalam bisnis yang serupa, mintalah dia bergabung, Anda memodalinya, lalu profit dibagi adil?<br />5. Belilah franchise yang paling mendekati bidang kerja Anda sebelumnya, misal kalau Anda karyawan Depdikbud maka belilah franchaise pendidikan.<br />6. Kenali proses bisnisnya dari A-X karena seorang pengusaha yang sukses pastilah pengusaha yang mengetahui detail operasi bisnisnya sehingga mereka tidak mudah diperdaya orang lain?<br />7. Terakhir <span style="font-style: italic;">don't put all the egg in one basket</span>!! jalan lupa menyisihkan paling sedikit setengah dari uang pensiun Anda di instrumen keuangan yang aman sebagai <span style="font-style: italic;">buffer </span>kebutuhan hidup Anda selama pensiun.<br /><br /><br />Lakukan tips di atas dan sampai ketemu di jalan <span style="font-weight: bold;">orang-orang pensiun kaya-raya</span> !!! hehehe<br /><br /><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(51, 102, 255);font-size:78%;" >(even tough it is written in blog, doesn't mean you can freely to copy without notice, Pls respect people's masterpiece thinking!) </span><br /><br /></span></span></div>Marketing Gameshttp://www.blogger.com/profile/05574923392063917331noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4411785648168729661.post-18667357941109007182008-02-18T08:44:00.002+07:002008-02-18T09:08:46.845+07:00IMC for Publishing HouseSalesman yang jago adalah yang bisa menjual es di kutup utara !<br /><br />Ungkapan itu menyindir orang pemasaran yang selalu mengaku bisa menciptakan kebutuhan. Dalam kontek dunia penerbitan saya melihat semangat inilah yang harus membara di dada para penerbit. Tidak ada sebuah buku yang bisa sukses jika tidak dikomunikasilkan dengan baik kepada target market meskipun itu "buku dewa" sekalipun. Sebabnya tidak lain karena himpitan yang semakin keras pada persaingan (konon judul per buku yang masuk Gramedia saja per bulannya sudah lebih dari 100 judul), pelanggan yang semakin pintar sekaligus bingung ( pintar dalam menghitung harga yang wajar dari sebuah buku, namun bingung dengan kualitas isi buku). Sedangkan di sisi lain penerbit juga dihadapkan pada beban biaya yang semakin membengkak dan kebijakan pemerintah yang tidak pro-buku sama sekali (kertas mahal pajak mahal)<br /><br />Alhasil penerbit bagaikan terperangkap dalam labirin, mau tidak nerbitin buku salah, nerbitin juga<span style="font-style: italic;"> nggak </span>yakin laku karena nggak ada biaya pemasaran. Biaya pemasaran buku saya prediksi idealnya di kisaran 5-10%, bahkan untuk buku yang diprediksi bakal laku keras seorang teman bisa mengeluarkan di atas 15%. Misalnya ongkos cetak 30 juta maka biaya pemasaran harusnya minimal 3 juta, yang akan habis untuk bedah buku dan acara radio. Lalu bagaimana dengan iklan di media cetak?<br /><br />Jawabnya mustahil penerbit akan mau jika tidak ada sumbangan dari penulis. Oleh karenanya, saya biasanya telah mengalokasikan minimal 5 juta untuk iklan, dan 10-20 buku gratis untuk para peresensi, ditambah uang terima kasih sekitar 500 ribu untuk tiap peresensi supaya keluar di media massa esok paginya.<br /><br />Kalau buku Anda <span style="font-style: italic;">pengen</span> laris di pasaran maka Anda pun sebagai penulis harus "mawa bea" alias keluar duit, yah<span style="font-style: italic;"> itung-itung</span> investasi jangka panjang. Jika Anda yakin bisa mendapatkan lebih dari 10 juta plus popularitas maka tidak salahnya menguatkan diri untuk mengikhlaskan 10 juta "lari" ke pihak lain. Kalau ternyata gagal ya sabarlah karena bukankah justru keberhasilan menjadi indah kalau Anda sudah pernah tertimpa kegagalan? Terbitkan buku lagi kalau buku kemarin gagal, gagal lagi terbitkan lagi..kalau gagalnya 10 kali barulah Anda berpikir kembali , mungkin Anda memang tidak berbakat menulis dan mulai mengontak HP saya hehehe...Marketing Gameshttp://www.blogger.com/profile/05574923392063917331noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4411785648168729661.post-90280630455803795062007-11-22T07:52:00.001+07:002008-02-22T09:53:45.541+07:00KAPAN KE JOGJA LAGI? Jogja's New Marketing Campaign<span style="font-size:85%;"><br /></span><br /><div align="justify"><span style="font-size:85%;">Rabu, 21 November 2007, saya <em>ngangkring</em> (istilah Jogja untuk <em>nongkrong</em>) bareng Mas Arief, CEO Aseli Dagadu Jogja, di Excelco Malioboro Mall. Sejak Selasa saya memang di Jogja, ada acara wisuda adik saya di UGM. Setelah menanyakan kabar masing-masing, akhirnya Mas Arief membuka inti pembicaraan sore itu tentang visi kami untuk menjadikan Jogja sebagai kota berbasis ekonomi kreatif (<em>creative economy</em>). Saya melihat dari sekian banyak kota di Indonesia, Jogja-lah kota yang paling tepat untuk dijadikan basis <em>creative economy</em> yang dicanangkan Pak SBY, bukan Jakarta. Ada beberapa alasan yang mendasarinya, terutama jika saya mem-<em>benchmark </em>Jogja dengan daerah paling kreatif Silicon Valley.<br /><br /><strong>Pertama, ketersediaan SDM.</strong> Jika berbicara mengenai creative economy maka unsur paling penting adalah “<em>soft aspect</em>” yakni kualitas SDM. Jogja sejak lama sudah dikenal sebagai kota pendidikan, kota seni, dan kota budaya dengan universitas sebagai mesin penghasil cendekiawan yang tidak pernah putus. Silicon Valley bisa berkembang pun karena dukungan universitas di seputar San Fransisco seperti Stanford University dan University of California at Barkeley.</span></div><span style="font-size:85%;"><div align="justify"><br /><strong>Kedua, tersedianya “<em>cool green house</em>” yang mendukung tumbuhnya kreatifitas</strong>. Mengembangkan kreatifitas itu seperti menumbuhkan sebiji tanaman, jika ingin cepat besar lingkungan harus dikondisikan sehingga tumbuhan yang hidup di rumah kaca (<em>green house</em>) jauh lebih cepat tumbuh besar ketimbang yang ada di luar rumah kaca. Demikian juga kreativitas akan tumbuh cepat jika ada lingkungan yang mendukung tumbuhnya ide-ide baru. Lingkungan kota Jogja yang berhawa sejuk, bebas polusi, dengan budaya masyarakatnya yang komunal namun berpikiran terbuka, menjadikan kota ini sangat “<em>cool</em>” untuk mendorong munculnya ide baru. Pemusik Katon Bagaskara konon menciptakan hampir semua lagu Kla Project di daerah Wisata Kaliurang. Jogja juga punya ribuan tempat nongkrong dari mulai kedai Angkringan Kopi Joss di samping Stasiun Tugu sampai <em>coffee shop</em> modern sekelas Starbucks. Mirip suasana Silicon Valley yang penuh dengan taman dan tempat ngopi yang asik.</div><div align="justify"><br /><strong>Ketiga, jiwa <em>entrepreneurship</em></strong>. Mempunyai ide segudang tidak cukup jika tidak dilanjutkan dengan proses komersialisasi ide (<em>creativity meets commercialization</em>). Di Silicon Valley katanya ada dua golongan masyarakat: pertama, golongan pemikir kreatif dan kedua, golongan pemodal. Kedua golongan ini saling mendukung dan membangun network dan saling membutuhkan. Ketika ada sebuah ide kreatif baru yang visioner sekaligus komersial, maka golongan pemodal ini dengan optimis akan mendukung pendanaan proyek kreatif itu menjadi sebuah produk nyata. Jangan dibayangkan ada proses yang rumit seperti Anda mengajukan kredit ke bank, para pemodal ini akan rela memberikan milyaran dananya begitu ada satu titik peluang komersial yang terkandung dalam sebuah ide. SteveJobs tidak akan bisa mendirikan Apple tanpa bantuan partner investornya Steve Wosziak.</div><div align="justify"><br />Keputusan cenderung dibuat dengan sensing bukan analysis karena keberhasilan inovasi pada fase awal biasanya tidak mudah untuk dikalkulasikan dalam sebuah angka-angka parameter <em>feasibility studies</em>. Di sinilah pentingnya jiwa entrepreneurship untuk bisa mendorong munculnya <em>sense of opportunity</em> ketika melihat sebuah ide baru yang relatif masih “mentah”. Jiwa entrepreneurship kota Gudeg bisa Anda rasakan berdenyut di setiap pojok kota. Saya sendiri yang sering balik kampung, selalu terkejut dengan berdirinya usaha-usaha baru yang bertebaran di sepanjang jalan protokol sampai jalan pedesaan yang membelah persawahan. </div><div align="justify"><br />Hal ini karena menjadi orang gajian di Jogja sungguh tidak meng-enakkan karena UMR di kota Gudeg ini relatif kecil sekali, susah mencari gaji Rp 1 juta untuk seorang lulusan sarjana. Perusahaan kelas nasional dan multinasional juga tidak genap ada sepuluh jari. Oleh karena itu, para alumni S1/S2 yang tidak mau pergi ke Jakarta tidak ada pilihan lain selain menciptakan bisnis-bisnis baru yang kreatif, seperti “angkringan” hot-spot, thematic restaurant/café, advertising agency, publisher, distro, atau entertainment. </div><div align="justify"><br /><strong>Keempat, nilai sosial yang mendukung.</strong> Sebuah proses kreatif tidak akan jalan pada sebuah masyarakat yang memiliki sikap menyalahkan dan menghukum. Sebaliknya sebuah proses kreatif akan tumbuh pada masyarakat yang pemaaf dan pemurah. Konon di Silicon Valley ada budaya untuk menghargai kegagalan. Orang yang gagal mencoba lebih dihargai daripada orang yang cerdas namun miskin keberanian. Kota Jogja sebagai pusat budaya Jawa mempunyai budaya “<em>forget and forgiveness”</em> (lupa dan memaafkan) yang kental. Kota ini juga relatif belum tercemar dengan budaya hedonis yang mendewakan materi. Mungkin Anda tidak percaya karena Anda belum masuk ke area komunal Jogja dan hanya melihat simbol-simbol hedonisme modern yang tercermin di billboard, spanduk, dan jumlah franchise yang masuk ke kota ini. Sehingga sangat mendukung untuk menculnya ide kreatif karena tidak ada halangan mental (<em>mental blocking</em>) yang membebani individu. </div><div align="justify"><br /><strong>Kelima, kualitas hidup yang lebih baik</strong>. Stres merupakan pembunuh kreativitas nomer wahid. Kita yang tinggal di Jakarta pasti pernah merasakan tidak bergairah seharian di kantor karena waktu berangkat terkena macet berjam-jam, kecopetan di angkot, atau mobil kita di serempet sepeda motor, diumpatin orang di jalan, dan lain sebaginya. Akibatnya <em>mood</em> bekerja kita hancur, dan lelah mental sehingga jangankan berpikir kreatif, menjalankan tugas rutin yang tanpa berfikir saja kita malas mengerjakannya. Kehidupan warga Jogja nyaris tidak terganggu dengan faktor eksternal yang disebabkan masalah perkotaan seperti kemacetan, kejahatan, banjir, dan lingkungan yang kumuh sehingga tidak mengherankan jika Jogja menjadi kota yang memiliki skor harapan hidup tertinggi se-Indonesia. </div><div align="justify"><br />Berdasarkan lima parameter di atas, saya yakin Jogja merupakan salah satu kota yang sangat potensial menjadi basis <em>creative economy</em> Indonesia. Untuk mendorong visi terebut mas Arief dengan jiwa sosialnya telah memulainya dengan kampanye bertajuk “KAPAN KE JOGJA LAGI?” (KKJL) untuk mendorong geliat TTI (Tourist, Trade, Investment) masuk ke Jogja khususnya yang berbasis ekonomi kreatif. KAPAN KE JOGJA LAGI???</div></span>Marketing Gameshttp://www.blogger.com/profile/05574923392063917331noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4411785648168729661.post-20030214177256928912007-11-17T16:19:00.000+07:002007-11-19T16:28:10.760+07:00Launching Buku Roy Goni<div align="justify"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgUxh1exj-tlg1uA-Xbu_gBWDrbPMG1Eykyygpt_rwELEQ3OdfRY44nbBmy-MmZFihgaOAjIgJn5no0ypJ8tAUZpdg8e2kaG7aby3UcTRf6JcnyHeey8XR9BvBEPw7X4Ok1XFdDC2GVKqQz/s1600-h/IMG_0182.JPG"><span style="font-size:85%;"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5133737512030314594" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; CURSOR: hand" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgUxh1exj-tlg1uA-Xbu_gBWDrbPMG1Eykyygpt_rwELEQ3OdfRY44nbBmy-MmZFihgaOAjIgJn5no0ypJ8tAUZpdg8e2kaG7aby3UcTRf6JcnyHeey8XR9BvBEPw7X4Ok1XFdDC2GVKqQz/s320/IMG_0182.JPG" border="0" /></span></a><span style="font-size:85%;"><br /></div></span><div align="justify"><br /><span style="font-size:85%;">Jumat malam 17 November 2007, saya datang ke acara peluncuran buku Playing to Win-nya Roy Goni. Kebetulan saya sudah membeli dan membaca buku ini dua-tiga bulan yang lalu saat pertama kali muncul di Gramedia, jadi sangat bersikukuh tetap datang mesti sejuta masalah sedang bergalut di pikiran dan hati. </span></div><span style="font-size:85%;"><div align="justify"><br />Seperti biasa, saya tidak tahan kalau tidak tepat waktu, waktu menunjukkan jam 6 lebih sedikit namun ruangan Hotel Sahid yang dipakai Roy nampaknya sepi sekali. Namun begitu masuk ruangan ternyata sudah ada Pak Roy dan beberapa teman dari Indonesia Manajer Club (IMC). Saya duduk semeja dengan Pak Jims, seorang Doktor Manajemen dari Atmajaya, pak Taufik dari Brainware, pak Hariyadi Sukamdani dari HIPMI sekligus pemilik majalah Pengusaha, mas Dwi Helly dan Mas Anung dari Gramedia, seorang wartawan Kontan, dan satu lagi seorang mantan eksekutif Lippo Group. Suasananya <em>guyup</em> meski sedikit kurang dinamis karena banyak didominasi warga senior. Makhlum dari ngobrol-ngrobrol organisasi IMC ini sudah berdiri sejak 1980 dan Hermawan Kartajaya (HK) pernah aktif kala baru membangun MarkPlus (ehm..aku jadi ingat cerita HK saat membangun MarkPlus dari bawah di Surabaya). </div><div align="justify"><br />Singkatnya acara lumayan hening, namun tidak menyurutkan minat saya menyimak presentasi Roy Goni. Kalau Anda pernah melihat presentasi James Gwee dan Hermawan Kartajaya, maka Roy Goni bisa dibilang gabungan dua guru di atas. James Gwee bagi saya adalah seorang pencerita kisah guru <em>selling</em> dan motivator sedangkan Hermawan Kartajaya adalah seorang inspirator ulung. Kalau Roy berada di tengah, meskipun <em>story telling</em> tidak semengalir James Gwee tapi dia cukup bagus menceritakan kasus perusahaan dunia, tidak seperti dosen pada umumnya yang biasanya di “mabuk konsep”. Roy juga secara konsep juga menguasai dan ter-<em>update</em>, jadi singkat cerita saya <em>enjoy</em> menikmati dia berbicara sampai akhir. Bahkan di sesi tanya jawab saya sempat aktif berkomentar dan menyarankan untuk buku ini dikembangkan menjadi sebuah buku strategi yang ada modelnya Playing to Win in The Era of Copycat Economy. Tak disangka Roy senang sekali dan berjanji akan membuatkannya untuk kita semua di buku selanjutnya. Pak Taufik dari Brainware juga setuju dan menyarankan hal serupa. </div><div align="justify"><br />Mengenai bukunya Roy, sangat bagus, enak dibaca, dengan kasus yang lumayan lengkap. Sampulnya termasuk bisa stand-out dan menarik dengan tata letak dan font yang akrab bagi mana segala usia. Ada niat dari desainernya untuk sedikit “nakal” dengan memasukkan beberapa gambar kontektual, shading, dan permainan huruf di halaman pemisah antara bagian untuk mengurangi kebosanan pembaca. Dalam buku 345 halaman ini Anda bisa menikmati tulisan pendek (kolom) Roy yang membahas lima tema marketing yakni: customer rule, dream marketing, strategi harga, strategi merek, strategi dan teknik bersaing. </div><div align="justify"><br />Saya menikmati buku Roy Goni ini dan terus terang membacanya sampai habis. Saya katakan ke Roy kalau bukunya ini memudahkan pembaca belajar marketing karena Roy memasukkan konsep marketing lengkap dari guru-guru favorit saya seperti David Aaker dan Kevin Keller (<em>brand</em> dan <em>branding</em>), Frederich Reichheld (<strong>customer loyalty</strong>), Bernd Schmitt dan Marc Gobe (<em>experiential/ emotional Marketing</em>), Jack Trout-Al Ries, Porter, Kotler (<em>strategic marketing</em>). Great book Pak Roy!!!<br /><br /></div></span><div align="justify"></div>Marketing Gameshttp://www.blogger.com/profile/05574923392063917331noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4411785648168729661.post-13504563986495537922007-11-15T16:56:00.000+07:002007-11-15T17:00:26.528+07:00The Rise of Brand Placement? Fact#2: Tupperware Party Selling &Yamaha Mio Campaign<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj7JcIOXY_61eYrB12qCFQBnQazCMbuSePn5pdqr_2fGDcYSd4g2FdqwzqlIIRFMqLnGmsm0v-bBjM9OnLt89jfV-bnGjH8e4ubzwpPdBDPDVYbJT1BTElP7hyphenhyphenitH1Zomm3dvXVj2HXsjAq/s1600-h/tupperware.jpg"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5133004137774587970" style="FLOAT: right; MARGIN: 0px 0px 10px 10px; CURSOR: hand" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj7JcIOXY_61eYrB12qCFQBnQazCMbuSePn5pdqr_2fGDcYSd4g2FdqwzqlIIRFMqLnGmsm0v-bBjM9OnLt89jfV-bnGjH8e4ubzwpPdBDPDVYbJT1BTElP7hyphenhyphenitH1Zomm3dvXVj2HXsjAq/s320/tupperware.jpg" border="0" /></span></a><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"><br /><br /></span><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"></span><div align="justify"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Siapa tidak kenal Tupperware hari ini barangkali hanya orang di suku terpencil. Di kantor saya bahkan telah menjadi peralatan wajib yang harus dibawa ke kantor supaya kopi yang dibuat istri bisa diminum sambil menyetir mobil atau mengerjakan tugas-tugas kantor. Anehnya meskipun terlihat sepele, saya kagum pada produk ini karena realiabiilitasnya yang luar biasa: tahan panas-dingin, awet, dan tentu saja bebas bahan kimia jadi nggak perlu kawatir keracunan seperti produk “tiruannya” dari China.<br /><br />Produk bagus laris manis terjual sudah biasa. Namun yang luar biasa adalah jika produk itu nyaris tidak pernah beriklan, hanya memakai channel lain kecuali MLM dengan model jualan party selling yang tidak pernah berubah sejak didirikan oleh Earl Silas Tupper di tahun 1946. Sebuah contoh strategi pemasaran yang sangat efektif sekaligus efisien. Dalam sejarah barangkali hanya dua perusahaan jenis direct-selling yang paling sukses yakni Amway dan Tupperware ini.<br /><br />Mengambil inspirasi dari Tupperware, saya melihat penempatan brand di tengah-tengah kerumunan orang (community present) seperti di arisan, gathering, pertandingan golf, tempat nongkrong anak muda, atau pun di sekolah/universitas adalah strategi brand yang sangat cerdik. Khususnya untuk brand yang produknya termasuk sophisticated, susah dipahami, dan bermuatan teknologi baru.<br /><br />Kasus rielnya pada kampanye Yamaha Mio yang masuk ke sekolah-sekolah dan bahkan ke arisan ibu-ibu. Teman saya Pak Hendry dari Yamaha Motor Kencana Indonesia (YMKI) yang mengagas kampanye ini mengatakan bahwa tujuan acara “Mio masuk kampung” ini adalah untuk mengenalkan brand lebih dekat ke pelanggan, mendorong interaksi, dan menghilangkan sikap resisten atau keragu-raguan dalam menerima produk Mio yang berteknologi tinggi (otomatik). Setelah mencoba barulah para ibu-ibu yang dulunya takut kalau naik Mio nggak bisa ngerem alias nyelonong, menjadi hilang.<br /><br />Brand Present di komunitas ini pastinya tidak bisa berdiri sendiri namus didukung oleh tim salesman yang mempunyai product knowledge yang bagus sehingga bisa menjelaskan fitur unggulan dan menunjukkan bukti otentik outputnya. Seperti ketika kita datang ke acara Party Selling-nya Tupperware, sales consultant –nya bukan hanya mahir berbicara namun juga mahir mempraktekkan pemakain aneka produk Tupperware untuk aneka kegiatan masak-memasak. Dampaknya bukan hanya rasa takut yang hilang namun hasrat membeli pun tergugah dari lubuk hati. Beli, beli, beli !!!! </span></div>Marketing Gameshttp://www.blogger.com/profile/05574923392063917331noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4411785648168729661.post-87175032609076745942007-11-14T10:46:00.000+07:002007-11-15T16:14:26.218+07:00The Rise of Brand Placement? Fact #1: Reebok Buat Acara TV” Framed”<a href="http://news.bbc.co.uk/olmedia/1670000/images/_1672908_hanry150.jpg"><img style="FLOAT: right; MARGIN: 0px 0px 10px 10px; WIDTH: 210px; CURSOR: hand" height="337" alt="" src="http://news.bbc.co.uk/olmedia/1670000/images/_1672908_hanry150.jpg" border="0" /></a><br /><div align="justify"><span style="font-size:85%;"><em>The New York Time</em>, 13 November 2007 mengatakan Reebok sedang merancang sebuah acara interview di TV kabel dengan judul “Framed”. Acara yang rencananya akan menghadirkan para endorser brand Reebok dan Rbk itu telah siap tayang 3 episode sampai akhir 2007, tiga episode di awal tahun 2008 dan enam episode lainnya akan menyusul sepanjang tahun. Acara “<em>soft selling</em>” ini bertujuan untuk mendekatkan hubungan para endorser brand mereka seperti Thierry Hanry, Alan Iverson, pemain baseball David Ortiz dengan masyarakat dan Reebok sebagai perusahaan yang merekrut mereka. </span></div><span style="font-size:85%;"><br /><div align="justify"><br />Karena belum ada contoh <em>videostream</em>-nya, saya pun belum jelas bagaimana format acara Framed ini, tapi sepintas bisa dibayangkan barangkali seperti “Ceriwis”-nya Indi Barend dan Indra Bekti itu. Dibuka dengan <em>feature</em> artis—cerita seputar perjananan hidupnya, lalu sedikit tentang kisah Reebok sebagai produk dan perusahan. Yah, mungkin agar boring sih kalo <em>mbayangin-</em>nya, sama <em>boring-</em>nya ngeliat acara Coffee Bean Show di sebuah TV swasta Indonesia. </div><br /><div align="justify"><br />Tapi yang jelas fakta ini sangat kuat mendukung argument saya, bahwa sekarang sedang marak brand placement di media alternatif, karena iklan semakin kehilangan daya tariknya. Di format apapun, dari mulai dibuat lucu seperti ClassMild, dibuat sok empati kayak “A mild” , dibuat semi film kaya Pond versi Karena Wanita Ingin Dimengerti, smart customer tetap melihat iklan ya iklan, iklan ya jualan!! sehingga ketika iklan muncul sebaguh apapun orang langsung reflek meminta channel ke TV lain. Apalagi dengan menjamurnya TV kabel yang “nggak ada” iklannya.</div><br /><div align="justify"><br />Sayangnya “nafsu” <em>hard selling</em> masih sering menodai ksebuah <em>brand placement</em> yang smart seperti acara Framed ini. Pola pikir “Nggak mau rugi kalo Nggak ngomong brand Nggak nunjukin brand” sering meruntuhkan format acara yang sebenarnya menarik. Mendengar Thierry Henry cerita saja pasti sudah menarik, namun menjadi berputar arah ketika Thierry Henry mulai cerita sepatu Reebok punya kelebihan A.B.C.D..pasti <em>boring </em>banget!</div><br /><div align="justify"><br />Jadi, jangan heran jika acara semacam ini semakin susuh dijual dan menarik minat pemirsa. Teman saya, PR manager BCA misalnya lagi pusing bagaimana meningkatkan rating acara Gebyar BCA dan Halo BCA. Saran saya ke dia, kurangi nafsu untuk tampil dan buatlah acara yang benar-benar <em>customer-centric</em> sesuai kebutuhan pemirsa dan jangan terlalu <em>hard selling</em>, kalau bisa diubah namanya jangan Halo BCA. Ingat sekarang adalah jamannya <em>smart customer</em>, mereka tahu kok brand Anda apa nggak usah bilang eksplisit. Mereka akan menghargai ketulusan Anda dan tanpa sadar akan memasukkan nilai empati menjadi bagian dari brand value Anda. Tampak dan mononjol sekarang bukanlah alat memenangkan perang pemasaran terlebih buat sebuah brand yang sudah mapan!<br /></span></div>Marketing Gameshttp://www.blogger.com/profile/05574923392063917331noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4411785648168729661.post-61280177004929641692007-11-13T15:31:00.000+07:002007-11-13T15:33:21.930+07:00Value Creation Pelanggan Kakap<p><span style="font-size:85%;">Teman saya seorang penjual traktor di Group Astra. Dia mengaku hidupnya berubah ketika mulai mendapatkan pelanggan kakap dari perusahaan-perusahaan besar. Dia bisa membeli mobil, rumah, dan gadget yang dia inginkan. Singkat kata, derajat ekonominya meningkat sejak rutin berhasil mendapatkan pelanggan kakap.<br /><br />Teman saya yang lain, pemilik perusahaan call center, mengaku bisnisnya menjadi semakin maju setelah mendapatkan kepercayaan untuk memasok jasa call center ke sebuah bank papan atas nasional. Setelah bank yang warna korporatnya biru tersebut memercayakan layanan call center-nya ke perusahaannya, dia dengan mudah mendapatkan pelanggan dari bank nasional lainnya.<br /><br />Kahadiran pelanggan kakap selalu ditunggu setiap perusahaan karena membawa banyak dampak positif. Pertama, bagi perusahaan mendapatkan pelanggan kakap berarti jaminan kestabilan keuangan karena pelanggan kakap biasanya membeli dalam jumlah banyak, dalam kurun waktu lama (tahunan), dan tidak sensitif terhadap harga. Kedua, bagi karyawan, keberhasilan perusahaan mendapatkan pelanggan kakap akan mengangkat motivasi kerja. Ketiga, bagi pemegang saham dan pelanggan terkini, kemampuan perusahaan mendapatkan pelanggan kakap meningkatkan kepercayaan yang sudah terjalin selama ini. Jadi bukan hanya penjualnya saja yang senang mendapatkan pelanggan kakap karena mendapat komisi besar, seluruh stakeholder perusahaan ikut merasakan dampak positifnya. Inilah mengapa perebutan di segmen creme de la creme sangatlah sengit.<br /><br />Beberapa faktor pendorong yang membuat perusahaan lebih memilih memokuskan pada pelanggan kakap terpilih daripada menyasar semua segmen antara lain: Pertama, karena perubahan lingkungan bisnis yang dasyat, misalnya merger dan akusisi, membawa perubahan cepat pada organisasi penjualan. Kedua, era multi sourcing telah menciptakan peluang bagi setiap perusahaan di dunia untuk mendapatkan kontrak kerja dari perusahaan multinasional. Ketiga, semakin luasnya adopsi pengelolaan berbasis just in time yang mensyaratkan adanya strategic partnership dengan pemasok. Keempat, persyaratan di perusahaan negara dan beberapa perusahaan swasta untuk memprioritaskan pemasok yang masuk Daftar Rekanan Terbaik perusahaan. <br /><br />Dari survei yang saya lakukan, rata-rata perusahaan yang gagal memperolah pelanggan kakap adalah perusahaan yang mengalami: (1) desintegrasi organisasi sehingga antar fungsi tidak terjalin kerjasama yang baik dalam upaya mendapatkan pelanggan kakap, (2) tidak memiliki infrastruktur teknologi yang memadai sehingga prospek dari perusahaan besar merasakan hambatan dalam berhubungan. Bukankah kita lebih suka berteman dengan orang yang “satu tingkat”? Demikian pula perusahaan.<br /><br />Sedangkan peran faktor eksternal seperti meningkatnya persaingan akibat globalisasi dan e-commerce menjadi faktor ketiga yang akan gampang diatasi jika faktor pertama dan kedua ini diperbaiki.<br /><br /><strong>Mengenali Pelanggan Kakap</strong><br />Pelanggan kakap merupakan pelanggan yang memberikan kontribusi besar kepada peningkatan kinerja keuangan perusahaan, citra perusahaan, maupun strategic positioning perusahaan di pasar. Pelanggan kakap pasti datang dari perusahaan berskala besar: perusahaan multinasional atau nasional. Jarang pelanggan kakap berasal dari perusahaan kecil kecuali jika ia merupakan institusi yang memiliki network yang luas atau pendapatnya disegani oleh pasar. Perusahaan riset dan konsultan misalnya, barangkali dari segi skala bisnis kecil namun opininya sangat berharga dan bernilai strategik bagi sebuah perusahaan. Demikian juga dengan perusahaan media, seperti stasiun televisi-radio, dan penerbit surat kabar, meskipun kecil namun kekuatannya dalam mempengaruhi opini publik sangat kuat.<br /><br />Perusahaan riset, konsultan, dan media merupakan pengecualian, secara umum yang dimaksud pelanggan kakap adalah perusahaan sekelas Group Astra Internasional, Indofood, Unilever, P&Q, Medco Energi, Pertamina, Telkom, dan lain sebagainya. Sekali penjual bisa menembus perusahaan yang selalu menghuni deretan LQ-45 tersebut, maka potensi pendapatan di masa datang yang bisa diperoleh sangat besar sekali.<br /><br />Bank Mandiri misalnya bagi sebuah perusahaan pelatihan dan pengembangan adalah masuk dalam daftar pelanggan kakap karena memiliki budget pelatihan tahunan sekitar 4-5 miliar rupiah per tahun. Apabila target penjualan tahunan perusahaan pelatihan itu adalah 10 miliar maka apabila bisa mendapatkan Bank Mandiri maka potensi kontribusi yang diperoleh akan mencapai 40-50 % dari target anggaran.<br /><br />Pelanggan kakap bagi PT. Adhi Karya (Persero) misalnya adalah perusahaan multinasional di Timur Tengah yang memberikan proyek kontruksi besar dengan nilai Rp. 1 triliun ke atas, perusahaan yang memberikan proyek EPC (engineering, procurement, construction) dan investasi. Meskipun nilainya tidak besar namun proyek EPC dan investasi memberikan landasan kompetensi yang kuat bagi perkembangan ADHI di masa yang akan datang, misalnya Proyek PLTU Asam-Asam di Kalimantan, dan Jakarta Monorail.<br /><br />Kriteria pelanggan kakap secara detail adalah sebagai berikut:<br /><br />1. Membeli produk dalam jumlah banyak.<br />2. Profit margin yang didapat perusahaan cukup besar<br />3. Melibatkan banyak orang dalam proses pembelian.<br />4. Membeli produk untuk keperluan beberapa unit organisasi di tempat yang berbeda<br />5. Mengharapkan layanan dan perhatian khusus.<br />6. Mensyaratkan hubungan kerja sama jangka panjang<br />7. Memiliki arti strategis bagi perusahaan<br />8. Menjadi basis pelanggan perusahaan.<br /><br />Dapat dipastikan <span style="font-family:verdana;">hampir</span> seluruh perusahaan swasta besar seperti Medco bisa mencapai posisinya sekarang karena dulu berhasil mendapatkan kontrak strategis dengan perusahaan besar. Medco besar karena berhasil mendapatkan kontrak pengeboran darat dari perusahaan minyak bumi besar sekelas seperti Pertamina, Mobil Oil atau Exxon. Bahkan pada fase sebelumnya, Medco bisa menjadi perusahaan pengeboran darat karena mendapat kontrak pengelesan pipa dari Pertamina. Namun sekarang skala bisnis Medco hampir sama seperti Pertamina yang dulu memberinya proyek.<br /><br />Demikian juga dengan pengalaman di perusahaan kami, MarkPlus&Co. Perjalanan MarkPlus dari perusahaan daerah lokal Surabaya menjadi perusahaan nasional tidak lepas dari kontribusi PT. Indofood Sukses Makmur yang menjadi pelanggan kakap pertama. Setelah Indofood kami lebih mudah mendapatkan pelanggan kakap lainnya seperti PT. Telkom Indonesia, Hawlet Packard Indonesia, maupun Cisco System Indonesia. Di lingkungan regional Asean pun ternyata sama, setelah kami mendapatkan pelanggan kakap dari perusahaan telekom terbesar di Malaysia, berturut-turut klien besar di tiga Negara dengan mudah kita dapatkan. Bagaimana dengan Anda?<br /> </span></p>Marketing Gameshttp://www.blogger.com/profile/05574923392063917331noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4411785648168729661.post-74306811205275483112007-11-13T15:26:00.001+07:002007-11-13T15:28:24.760+07:00Membangun Cool Brand<div align="justify"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"><br />Artikel yang dimuat majalah Time pada minggu pertama November 2004 telah menggugah hati kami tentang konsep cool brands. Artikel tersebut menulis tentang bagaimana Nike bisa mendongkrak pasar Cina dalam beberapa tahun belakangan. Disitu sang penulis menjabarkan tentang merek-merek apa saja yang disebut sebagai cool brands di Cina bedasarkan survey yang dilakukan terhadap 1200 mahasiswa di Beijing dan Shanghai oleh sebuah perusahaan riset Hill & Knowlton.<br /><br />Apa saja yang mereka lihat sebagai cool brands ? Ternyata merek-merek seperti Nike, Sony, Adidas, BMW, Microsoft, Coca-Cola dan IBM masih mendominasi pikiran konsumen di Cina. Yang menarik justru tidak ada satupun merek Cina yang mereka pandang sebagai cool brands.<br /><br />Anda mungkin bertanya, sebenarnya cool brands itu merek yang bagaimana sih? Apakah ini artinya merek yang asyik? Merek yang asoy? Kalau mengacu pada riset yang dilakukan oleh Hill & Knowlton diatas, anak muda di Cina mendefinisikan kata “cool” sebagai sesuatu yang bersifat inovatif, penuh dengan gaya, dinamis, dan juga nyantai sekaligus gaul.<br /><br />Superbrand, sebuah lembaga branding dari Inggris, menganggap cool brand sebagai suatu merek dengan identitas yang kuat dan berdiri bedasarkan sesuatu yang ideal. Untuk dipersepsikan sebagai “cool”, sebuah merek harus secara jelas mendefinisikan kepribadiannya agar dapat dikenali dan direlasikan oleh pelanggan.<br /><br />Cool brands penuh dengan visi kedepan. Kadang-kadang egois, tidak peduli dengan hal yang lain. Mereka berani untuk menjadi imperfek dan tidak punya apapun untuk dibuktikan. Dan yang paling penting, cool brand mengisi kebutuhan yang selama ini tidak tersedia.<br /><br />Kami di MarkPlus&Co mendefinisikan cool brands sebagai merek yang menggairahkan dan merubah hidup anda. Dua kata kunci disini adalah sensasi dan solusi. Coba anda lihat model progression of economic value dibawah ini. Secara singkat model ini menjelaskan bahwa kita harus menggeser bisnis kita dari bisnis komoditi dan bisnis barang, ke bisnis servis, kemudian ke bisnis experience, dan akhirnya bisnis transformasi.<br /><br />Kalau dilihat dari model tersebut, mereka yang disebut cool brands ada pada “kawasan” bisnis experience dan bisnis transformasi. Merek terebut telah terbebas dari perangkap “komoditisasi” dan berhasil memenangkan persaingan karena secara terus menerus membuat perbedaan. <br /><br />Sebenarnya apa bedanya cool brands dengan established brands (merek yang gak asyik)? Kami berani mengatakan bahwa “cool brands” adalah merek tulen yang dibuat di dunia venus sedangkan Established brands adalah merek yang kuno, kaku, dan membosankan yang dibesarkan di Bumi. <br /><br />Established brands pada dasarnya mengharapkan hasil survey tradisionil yang bersifat kuantitatif dan qualitatif. Komunikasi pemasaran mereka juga dilakukan dengan cara lama yaitu bedasarkan 4P (produk, price, place, dan promotion). Pengukuran ekuitas established brands dilihat dari sisi brand awareness yang kokoh, sedangkan image dari merek tersebut dipandang dari brand association.<br /><br />Hal tersebut sangatlah berbeda dengan cool brands yang menggairahkan hidup anda dengan mereknya yang penuh dengan gaya, gaul, nyantai. Merek yang bertipe seperti ini dapat mengubah hidup anda karena mereka sangat dinamis, selalu bergerak di pasar dan inovatif dengan mengeluarkan produk terobosan (product breakthrough) yang baru. Merek ini memiliki karisma (Brand Charisma), kepribadian (Brand Personality), dan imej (Brand Image) yang secara signifikan membedakan mereka dengan merek lainnya.<br /><br />Cool brands mempelajari dan meneliti konsumen mereka bukan dengan cara meriset lapangan dengan daftar pertanyaan tertentu. Tetapi mereka meneliti lapangan dengan melakukan observasi dan indirect research seperti mistery shopper, dan lain-lain. Untuk mengetahui gerak gerik pelanggan, cool brands mengamati konsumen di tempat pembelian (point of purchase), komunitas, sekolah, kantor, dll.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> </span></div>Marketing Gameshttp://www.blogger.com/profile/05574923392063917331noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4411785648168729661.post-84584072462568964042007-11-13T15:02:00.000+07:002007-11-13T15:09:15.506+07:00Mencintai Pelanggan di Bulan Suci<div align="justify"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"><br /><br />Berbuka adalah momen yang paling dinantikan umat Muslim di bulan suci ini. Boleh dibilang titik perhatian terbesar pelanggan Muslim dalam 24 jam di hari ini ada di satu sampai setengah jam menjelang ”bedug maghrib”. Maka jangan heran jika pada jam-jam itu, layar televisi kita dipenuhi berbagai macam iklan yang datang dan pergi tanpa henti mengalahkan acara utama siraman rohani.<br /><br />Sebagai seorang muslimin dan sekaligus marketer saya tidak memungkiri bahwa para marketer khususnya yang ada di bisnis fast moving consumer goods (FMCG) ingin menjaring sebanyak mungkin dengan memasang iklan yang semenarik mungkin di bulan suci. Itu sah-sah saja menurut saya, namun yang saya sayangkan ada sebuah iklan produk minuman berinisial ”E”, yang kuat dipersepsikan sebagai pengganti sarapan pagi, menggunakan adzan sebagai pembuka pesan. Bayangkan jika Anda belum pernah melihat iklan tersebut dan sedang menantikan buka puasa di jam-jam kritis—kalau di Jakarta antara 5.30 WIB sampai 5.45 WIB—bisa jadi Anda akan terjebak, menyangkanya sebagai bedug maghrib.<br /><br />Secara ide, iklan itu sangat bagus, kena di hati dan biayanya rendah namun sayangnya secara eksekusi berantakan. Selain pesannya minim—hanya mencoba mengingatkan kembali nama merek di benak pelanggan, pengemasannya sangat hard-selling. Sebagai produk yang telah memiliki ekuitas merek yang tinggi, tidak seharusnya ia memakai cara komunikasi langsung seperti itu. Akan lebih baik jika mengedepankan ia memilih iklan yang menyasar sisi emosional (hati bukan otak) pelanggan, seperti iklan Blue Band versi anak kecil menumpahkan tepung roti, atau iklan Indomie versi sahur. Memang dari segi anggaran, iklan seperti ini membutuhkan biaya lebih besar. Namun jika masalahnya, kita bisa belajar dari Teh Botol Sosro—tetap hard selling, pesannya langsung ”Apapun makanannya, minumnya Teh Botol Sosro” namun konteknya yang dirubah sedikit yakni berbuka puasa. Dengan spot iklan pendek, Sosro tetap bisa menyampaikan pesan emosional sambil mengulang magic word-nya.<br /><br />Mengamati iklan-iklan saat Ramadhan ini, saya jadi teringat salah satu prinsip Compassionate Marketing yang berbunyi Love your customer and respect your competitor—cintai pelanggan Anda dan hormati pesaing Anda. Bagaimana kita bisa mengharapkan pelanggan terus loyal membeli produk kita jika selama ini kita hanya menempatkan mereka sebagai objek. Bahkan dengan tega di momen-momen suci mereka, kita masih memanfaatkannya untuk ”jualan”, bukannya mencoba berempati dan mendorong mereka mencapai tujuan beribadah di bulan suci. Jika kita percaya akan esensi marketing adalah membangun hubungan jangka panjang dengan pelanggan, maka seharusnya kita mencoba mencintai pelanggan dengan berempati, kecuali jika kita hanya menganggap marketing hanya selling yang orientasinya mengejar volumen penjualan yang sifatnya sesaat. Bulan suci Ramadhan hendaknya dipakai semua merek untuk menunjukkan rasa kecintaan mereka kepada pelanggan dengan menciptakan iklan dan event yang mendukung pelanggan di segmen Muslim mencapai tujuan peribadatannya. Selamat berpuasa!<br /><br /> </span></div>Marketing Gameshttp://www.blogger.com/profile/05574923392063917331noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4411785648168729661.post-76269990067917935372007-11-13T15:01:00.001+07:002007-11-13T15:01:55.789+07:00Para Pemasar adalah Penipu<div align="justify"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"><br />Mereka semua adalah penipu. Mereka memaksa kita membeli sesuatu yang lebih mahal dari semestinya. Aku tidak percaya lagi pada mereka.<br /><br />Siapakah ‘mereka’ dalam kalimat diatas? Mereka adalah para pemasar. Dalam buku karangan Seth Godin, All Marketer’s Are Liars, dikatakan bahwa para pemasar adalah penipu. Benarkah demikian? Kalau dipikir-pikir mungkin iya. Semisalnya kita membeli kopi di Starbucks. Harganya bisa berkali-kali lipat dibandingkan kita membeli kopi di pinggir jalan atau kopi bermerek di supermarket. Atau lebih nyata lagi, kebohongan para pemasar ini terlihat dari caranya menjerat kaum hawa yang untuk membeli pakaian, sepatu, dan tas bermerek yang harganya bisa mencapai jutaan rupiah, padahal modalnya hanya sekitar 30 persen dari harga yang ditawarkan.<br /><br />Memang kekuatan merek menjadi andalan para pemasar untuk menjual produk lebih mahal dari semestinya. Akan tetapi, sebenarnya bukan merek yang dijual oleh para pemasar, melainkan mimpi dan keinginan para konsumen ketika membeli barang bermerek tersebut. Katakanlah ketika seorang eksekutif muda membeli pulpen bermerek Mount Blanc, padahal ia sendiri mungkin baru bekerja setahun dan jabatannya masih staff. Ia mungkin tidak membutuhkan pulpen itu untuk menulis, tetapi lebih kepada mengapresiasikan dirinya, bagaimana ia merasa lebih mapan, lebih sukses, lebih dipandang dalam pergaulan, lebih ’in control’ ketika bertemu dengan klien. Nah, kalau kejadiannya seperti ini, siapa yang menipu? Para pemasar? Atau pembeli itu sendiri?<br /><br />Terkadang pembeli suka menipu diri sendiri. Bahkan mereka suka ditipu. Berbagai produk kecantikan yang dijual di pasar laris manis dibeli oleh mereka yang ingin lebih cantik, lebih pede, lebih dewasa. Pemakai sabun artis Lux terbesar bukanlah para artis, melainkan mereka yang ingin menjadi artis atau setidaknya ingin merasa seperti artis.<br /><br />Lantas apakah ini berarti konsumen adalah bodoh? Tidak, mereka tidak bodoh. Justru mereka semakin pintar. Konsumen sekarang sudah semakin terinformasi, semakin memiliki banyak pilihan, mereka semakin mencari produk yang tidak saja memberikan manfaat secara fungsional, melainkan emosional.<br /><br />Sehingga memberikan manfaat secara fungsional, merupakan peraturan pertama bagi pemasar yang ingin menipu konsumennya. Celaka jika manfaat fungsional tidak ada, tetapi Anda memberikan mimpi-mimpi yang berlebihan kepada konsumen. Mereka akan beli, namun kapok dan tidak akan beli lagi. Ini namanya over promise under delivery. Ketika Starbucks menjual kopi, maka biji kopinya merupakan biji kopi pilihan yang terbaik di seluruh dunia. Sabun lux juga membersihkan, memberikan kesegaran dan wangi kepada tubuh anda secara optimal.<br /><br />Setelah memuaskan pembeli secara fungsional, baru kita menambah unsur emosionalnya. Ada tiga tips untuk memberikan unsur emosional pada produk atau servis Anda. Tips pertama adalah membuat perusahaan Anda dicintai oleh konsumen Anda. Caranya dengan memberikan solusi kepada konsumen Anda, membuat konsumen mudah menghubungi Anda, dan merasakan apa yang dirasakan oleh konsumen. Contohnya adalah Astraworld yang menawarkan layanan 24 jam kepada pelanggannya. Layanannya yang disediakannya astraworld benar-benar lengkap. Mulai dari membantu memilihkan kendaraan terbaik dengan harga yang cocok, mengurusi pembiayaannya, dan menyediakan bengkel dengan servis dan perawatan terbaik, sehingga Astraworld benar-benar memberikan solusi total untuk keperluan konsumen berkendara.<br /><br />Tips kedua adalah menciptakan emosi positif. Contohnya celebrity fitness. Tempat kebugaran ini memutarkan lagu-lagu yang menggugah emosi para membernya serta membuat para membernya seperti layaknya seleb dengan to be seen experience-nya.<br /><br />Tips terakhir yang paling penting adalah melatih karyawan Anda. Karyawan Anda haruslah orang yang nice dan smart dan memiliki passion of service dan passion of people yang tinggi. Sehingga dalam praktiknya, tidak cukup lagi merekrut atau melatih orang dari segi IQ (Intelligence Quotient)-nya saja, melainkan dari segi EQ (Emotional Quotient)-nya juga perlu diperhatikan. Bila karyawan Anda dapat memberikan servis yang baik, mau mendengarkankan konsumen, dan tidak masa bodoh dengan keluhan konsumen niscaya konsumen Anda akan semakin memiliki keterikatan secara emosional.<br /><br />Jadi sudah siapkah Anda menipu konsumen Anda? Atau malah Anda yang akan ditipu oleh para pemasar?<br /><br /><br /><br /><br /> <br /><br /> </span></div>Marketing Gameshttp://www.blogger.com/profile/05574923392063917331noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4411785648168729661.post-48160192921789574342007-11-13T14:58:00.000+07:002007-11-13T15:00:40.117+07:00Memprospek Pelanggan Secara Efektif<div align="justify"><br /><span style="font-size:85%;"><br />Tulisan ini saya dedikasikan untuk teman-teman yang bergerak di bidang penjualan. Pasalnya seringkali ketika bertemu mereka saya sering ditanya cara jualan yang efektif. Pertanyaaan ini sebenarnya basic namun juga tidak gampang, apalagi saya tahu bagaimana susahnya menjual di era sulit seperti sekarang—daya beli masyarakat turun sementara target penjualan dipatok sama atau bahkan dinaikkan dari target tahun sebelumnya.<br /><br />Waktu adalah sumberdaya yang paling berharga bagi seorang tenaga penjual karena sekali prospek hilang di tangan maka sulit sekali menariknya kembali. Problem utamanya adalah menentukan urutan prospek yang akan dikunjungi dalam sehari. Aturannya semua orang tahu: Prospek yang paling hot didahulukan! Cuma masalahnya kriteria propek yang hot sering tidak jelas—tiap tenaga penjual mengembangkan definisinya sendiri.<br /><br />Agar lebih terstruktur dan berlaku universal, marketing memberikan petunjuk cara memprospek pelanggan lewat ilmu segmentasi. Praktisnya, ilmu segmentasi itu adalah ilmu memilah atau menggolong-golongkan prospek menurut kesamaan karakter, bisa berdasarkan wilayah, gaya hidup,pendapatan, dan lain-lain. Namun saya biasanya menggunakan cara segmentasi yang paling gampang yakni berdasarkan margin, loyalitas, dan biaya.<br /><br />Prospek yang paling hot dan wajib didahulukan adalah prospek yang diprediksi bakal mencetak marjin laba paling besar, paling loyal dengan biaya akuisisi paling murah. Mereka ini biasanya adalah pelanggan lama (existing customer), loyal (tidak memakai produk pesaing), tidak price sensitive, dan sangat mengedepankan kualitas—berapapun harganya asal kualitasnya sama akan dibeli.<br /><br />Contohnya dalam industri alat berat. Perusahaan yang termasuk hot prospect adalah perusahaan multinasional. Ini karena perusahaan multinasional biasanya telah mempunyai standar baku peralatan berat yang akan dipakai untuk produksi. Bahkan kadang-kadang alternatif mereknya telah ditetapkan sehingga harga menjadi pertimbangan kedua.<br /><br />Prospek hot kategori dua adalah prospek yang menggunakan produk dalam jumlah banyak namun meminta diskon. Perusahaan tambang nasional masuk ketegori ini. Mereka tetap ingin produktivitas tinggi namun karena anggarannya terbatas mereka menginginkan harga yang lebih rendah. Untuk menyikapinya, tenaga penjual bisa memberikan diskon namun dengan kompensasi, misalnya harganya diturunkan dengan kompersasi tingkat support service-nya dikurangi.<br /><br />Prospek hot kategori tiga adalah prospek yang tidak loyal (menggunakan produk kita bersamaan dengan produk pesaing), selalu meminta diskon, dan orientasi pemakaiannya jangka pendek (sekali pakai). Kontraktor musiman barangkali masuk segmen ini karena membutuhkan alat berat hanya untuk tiga sampai enam bulan saja saat proyek dikerjakan. Hal ini karena proyek berikutnya sangat mungkin tidak berkaitan dengan proyek pertama sehingga terlalu boros jika harus menyimpan alat berat. Untuk prospek kategori ini tidak perlu ditawari alat berat baru karena pasti tidak mempunyai dana. Alternatifnya bisa ditawari alat berat bekas atau dengan sistem leasing.<br /><br />Prospek yang paling tidak hot adalah prospek yang tidak mengenal nilai produk sama sekali dengan orientasi membeli sekadar coba-coba. Untuk produk yang baru diluncurkan, biasanya jumlah prospek yang nggak jelas ini dominan. Dalam kondisi ini sebagai tenaga penjual Anda harus membantu orang marketing melakukan edukasi prospek. Setelah nilai produk dipahami barulah para tenaga penjual bisa bekerja dengan irama normal.<br /><br />Nah, sekarang coba Anda praktekkan konsep ini untuk produk Anda sendiri. Berdasarkan hitung-hitungan margin, tingkat loyalitas dan biaya, pilah-pilah atau golongkan prospek Anda. Siapa saja yang termasuk prospek hot kelas satu, dua, tiga, dan empat. Kemudian coba alokasikan lebih banyak waktu untuk menggarap prospek hot kelas satu lebih banyak. Selamat mencetak penjualan tertinggi!<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Calon prospek “bintang empat” ini biasanya tidak sensitif terhadap harga, tidak meminta servis yang bermacam-macam, orientasinya jangka panjang dan biaya akuisisinya murah. Sebaliknya prospek yang harus dihindari adalah prospek yang selalu minta diskon, minta diservis macam-macam, orientasinya jangka pendek (terlihat dari perilakunya yang masih menggunakan produk pesaing).<br /><br />Namun jangan salah tafsir, prospek bintang empat tidak selalu identik dengan orang yang kaya dan berduit!<br /><br />Contohnya, untuk Anda yang menjual kredit sepeda motor, barangkali tukang ojek, tukang bakso, petani, atau para TKI/TKW adalah prospek bintang empat karena mereka biasanya tidak terlalu memperhitungkan hitung-hitungan bunga. Yang penting secara nominal cicilan per hari atau per bulannya “masuk”, mereka biasanya akan tertarik apalagi jika Anda pintar memikat hatinya, prosesnya semakin mudah lagi.<br /><br />Sebaliknya jika Anda memprospek seorang guru, prosesnya mungkin lebih susah karena dia memiliki informasi dan pengetahuan lebih banyak. Oleh karenanya mungkin Anda harus menerangkan segala macam kelebihan produk dari A sampai Z—DPnya, suku bunganya (pakai sistem flat atau floating), jangka waktu administrasinya, dan lain sebaginya. Akibatnya Anda akan ditekan untuk menurunkan harga, menambah servis dan lain sebagainya.<br /><br />Kalau sudah begini bagaimana?<br /><br />Tentu saja Anda harus pintar berkelit. Bekalnya adalah pengetahuan produk Anda dan produk pesaing. Terangkan diferensiasi produk Anda dan bandingkan secara jujur dengan produk pesaing. Mungkin ada beberapa aspek produk pesaing yang lebih unggul, katakan saja secara jujur hal ini. Bahkan kalau perlu persilahkan dia memilih produk pesaing. Justru dengan begini, prospek akan menilai Anda fair dan<br /><br /><br /><br /><br /> </span></div>Marketing Gameshttp://www.blogger.com/profile/05574923392063917331noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4411785648168729661.post-11790676203020299852007-11-13T14:56:00.000+07:002007-11-13T14:58:35.609+07:00MATRIX MARKETING<div align="justify"><span style="font-size:85%;"><br /> Selamat datang hypermarket di Batam ! Kata itu yang pertama kali saya ucapkan ketika salah seorang rekan saya yang sudah lama tinggal di Batam bercerita bahwa sebuah grup bisnis supermarket nasional telah membuka “cabangnya’ di sana. Hal ini sangatlah wajar karena Batam memang sebuah pasar yang menggiurkan untuk direbut apalagi jika melihat pertumbuhan tingkat ekonomi dan perdagangannya yang semakin pesat.<br /><br />Saya yakin Anda pasti telah datang ke hypermarket baru itu. Coba amati apakah ada sesuatu yang berbeda? Jika Anda mempunyai insting bisnis yang kuat Anda akan segera tahu bahwa barang-barang di Hypermarket itu disusun berdasarkan kategori, hampir semua merek diletakkan dalam satu batch yang sama misalnya kosmetik, sabun cair, mie instan dan lain sebagainya. Hanya satu atau dua produk saja yang dipasang mencolok, mungkin di pintu masuk, di depan jejeran batch atau di bawah spanduk besar dengan tulisan Best Buy atau Best Price !.<br /><br />Itu dari segi produk, lalu bagaimana dari segi perilaku konsumen. Ada sebuah survei yang mengatakan bahwa sebagian besar orang yang pergi berbelanja ke hypermarket dan superstore membeli lebih banyak dari yang direncanakan dan melenceng dari kategori, merek, atau produk yang diinginkan. Sepertinya saat orang masuk ke superstore atau hypermarket ingatan mereka tentang daftar belanja menjadi hilang (brainwash). Hal itu karena produk yang dipajang di sana terlalu banyak, mungkin jumlahnya ratusan dalam kategori produk dan ribuan dalam kategori merek. Masuk akal sekali bukan?<br /><br />Dengan kondisi demikian. efeknya adalah pelanggan menjadi sangat bingung untuk memilih. Terlebih jika terlalu banyak produk yang didiskon, maka musnahlah semua merek top of mind dalam dunia marketing reguler-dunia yang dibentuk dari marketing campaign khususnya iklan, berganti dengan top of mind dunia Carrefour, dunia Giant, dunia Hypermart, atau dunia Makro - yang terbentuk dari instore campaign - banner, spanduk, iklan, pamflet, leaflet, kupon discount, rayuan salesman/girl, free gift dan lain sebagainya.Bagi marketer, hal ini sangat berbahaya karena membuyarkan semua ingatan pelanggan yang sudah susah susah dibangun dengan investasi yang besar di iklan dan promosi.<br /><br />Mengapa hypermarket dan superstore dapat men-drive pelanggan sekuat itu? Jawabannya hanya satu, karena hypermarket dan superstore telah menciptakan shopping experience jenis baru dengan mengintegrasikan promosidan distribusi dalam satu tempat. Di sana ada product display sekaligus discount besar. Di sana toko dan gudang sekaligus tempat promotion girl bertarung merayu pelanggan. Inilah yang membuat mereka menjadi sangat efisien dalam biaya dan sangat efektif dalam mempengaruhi perilaku pembelian.<br /><br />Kalo sudah begini, marketing mix biasa (4P-Product, Price, Promotion, Place ) pasti akan ‘bubar’ alias tidak efektif lagi untuk diterapkan pada channel yang seinovatif hypermarket dan superstore apalagi jika semakin hari sang channel mulai menekan kita untuk menambah discount harga agar mereka dapat menjual produk kita lebih murah maka akan semakin susah Anda sebagai marketer.<br /><br />Harus ada sebuah pendekatan marketing khusus untuk hypermarket dan superstore karena rule of the game-nya sudah pasti berubah. Inilah yang coba diterangkan oleh Judith Corstjens dan Marcel Corstjens dalam bukunya Store War. Mereka mengatakan bahwa sekarang memenangkan mind-share pelanggan melalui iklan dan program promosi lainnya tidak akan telalu banyak mempengaruhi keputusan membeli pelanggan di hypermarket dan superstore jika tidak didukung dengan kemampuan memenangkan self space di toko.<br /><br />Hal ini karena pelanggan yang masuk hypermarket akan lebih memilih produk yang lebih dekat, mudah diambil dan eye catching, daripada produk yang ada di deretan paling belakang, susah diambil dan tidak terlihat. Apalagi jika atmosfer hypermarket sengaja didesain untuk mengarahkan pelanggan menuju jejeran batch tertentu - dengan daya tarik discount sebuah produk tertentu, internal campaign yang meriah, atau layout ruangannya. <br /><br />Pendekatan mereka disebut dengan matrix marketing, yang merupakan gabungan antara consumer marketing- untuk <span style="font-family:verdana;">memenangkan</span> mindshare dan trade marketing - untuk memenangkan shelf space di toko.<br /><br />Trade marketing adalah cara dan seni untuk memenangkan shelf space dengan cara memahami channel category, memanfaatkannya dan memberikan value pada distributor (hypermarket) sehingga produk kita selalu mendapat shelf space yang bagus karena penjualan produk kita berkontribusi terhadap total pendapatan retailer. Trade marketing tidak sama dengan channel marketing karena trade marketing membutuhkan pemahaman mengenai category management di mana perusahaan berusaha untuk mengkategorikan merek-merek produknya sehingga retailer (seperti hypermarket dan superstore) mudah mengelompokkan dan meletakkannya dalam satu tempat (shelf).<br /><br />Antara consumer marketing dan trade marketing harus tercipta sebuah harmonisasi sehingga antara top of mind dan shelfspace dapat saling menunjang. Pelanggan mengingat produk kita dan juga mudah mendapatkannya karena letaknya yang strategis, mudah dilihat, mudah diambil dan eye catching. Selamat berkompetisi dalam lanskap bisnis retail yang baru!!!<br /><br />.</span></div>Marketing Gameshttp://www.blogger.com/profile/05574923392063917331noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4411785648168729661.post-30536380047663097112007-11-13T14:52:00.001+07:002007-11-13T14:56:15.107+07:00Estetika Sebagai Sumber Diferensiasi<span style="font-size:85%;">Jangan anggap remeh estetika. Dulu, ketika jumlah merek di pasar masih bisa dihitung dengan jari memang estetika mungkin tak punya arti apa-apa di mata konsumen. Konsumen tak peduli dengan bentuk produk yang unik, interior outlet yang lain dari yang lain, pilihan warna kemasan yang different, atau tipologi huruf logo yang artistik, misalnya. Tapi kini, ketika benak kita tiap hari terus dijejali dengan jutaan informasi dari koran, majalah, TV, radio, hingga terakhir Internet. Dan ketika benak kita telah overload oleh beragam informasi tersebut. Baru kemudian estetika mulai dirasakan arti pentingnya oleh para brand strategist sebagai point of differentiation yang tak kalah dibanding dibandingkan dengan katakan point of differentiation melalui keunggulan dalam kualitas atau layanan.<br /><br />Ambil contoh gampang, Nike. Kenapa Nike begitu dicintai oleh para pemakai sepatu di seluruh dunia. Betul sekali, karena Nike memiliki kualitas nomor satu. Juga betul, karena Nike sangat inovatif dan selalu menggunakan teknologi tercanggih. Tapi perlu diingat bahwa Adidas ataupun Reebok juga memiliki kualitas nomor satu. Dua musuh bebuyutan Nike ini juga sarat dengan inovasi dan teknologi tinggi. Lalu apa bedanya. Saya kira, the real point of differentiation Nike dari Rebook ataupun Adidas justru terletak pada aspek pengalaman estetika.<br /><br />Saya melihat Nike lebih dicintai para pemakai sepatu sport di seluruh dunia lebih karena Nike lebih unggul dalam memberikan emotional benefit berupa pengalaman estetika kepada setiap konsumennya. Itu memang betul. Melalui simbol-simbol estetik—disain sepatu yang artistik, logo “swoosh” kebanggaannya yang simple, shopping experience melalui Nike Town, dan masih banyak lagi—Nike menggiring konsumennya memasuki “dunia Nike” yang kemudian menjadi basis baginya untuk membangun loyalitas di kalangan konsumennya.<br /><br />Saya kira ada tiga alasan kenapa estetika penting dalam marketing. <strong><em>Pertama</em></strong>, karena estetika dapat membuka jalan bagi terbangunnya loyalitas konsumen seperti yang dilakukan Nike di atas. <em><strong>Kedua,</strong></em> estetika bisa menjadi alasan bagi perusahaan untuk menetapkan premium pricing. “When your company or product provides specific experiences that customers can see, hear, touch, and feel, you are adding value and you can price that value,” kata Bernd Schmitt, seorang brand strategist penulis buku Marketing Aesthetics. Itu sebabnya Nike sukses mematok sekitar $150 untuk sepasang sepatunya atau Starbucks Coffee sukses menjual secangkir iced coffee-nya dengan harga cukup tinggi $3-$5. <em><strong>Ketiga,</strong></em> estetika juga menjadi differentiator yang semakin penting di tengah persaingan merek yang kian ketat.<br /><br /> Jangan dikira bahwa aesthetic strategy ini hanya dijalankan oleh merek-merek yang memang sensitif dengan estetika seperti merek-merek fashion, hotel dan restauran, atau merek-merek consumer good. Aesthetic strategy ini juga intens dijalankan oleh merek-merek industrial good atau merek-merek teknologi tinggi. Lucent Technologies, salah satu Baby Bell pecahan AT&T, adalah contoh klasik dari perusahaan yang mampu tampil beda dari perusahaan sejenis melalui kekuatan estetika baik nama, logo, maupun identitas visual merek secara umum. Merek-merek teknologi tinggi umumnya menggunakan suku-suku kata “tel”, “tech”, “sys”, atau “net”, dan logo-logo yang membawa imej hitech. Lucent beda. Perusahaan ini justru keluar “aturan baku” tersebut sebagai upaya perusahaan ini untuk mendferensiasi diri dari pesaing.<br /><br />Di Indonesia, beberapa merek memang sudah menerapkan aesthetic strategy ini. Tampilan kemasan Mizone yang berwarna biru cukup menarik hati dan menjadi point of differentiation yang kuat dan membantu menciptakan identitas Mizone sebagai minuman baru dalam ketegori baru yakni minuman berenergi dalam botol plastik. Demikian juga dengan Eguil dan Avian—merk air mineral—kemasannya sangat menarik dan berbeda dengan yang lain. Equil menggunakan botol kaca eksklusif sementara Avian menggunakan botok plastik dengan bentuk menyerupai buah labu. Karena inovatifnya, saya kira belum ada satu kemasan produk air mineral yang seindah Avian. <br /><br />Namun saya kira Mizone, Equil dan Avian adalah kasus khusus, karena hampir semua merek di Indonesia cenderung tak peduli dengan kekuatan estetika ini. Mereka umumnya belum sadar bahwa estetika sesungguhnya bisa menjadi point of differentiation dan alat ampuh untuk bersaing. Bagaimana dengan Anda? <br /><br /> </span>Marketing Gameshttp://www.blogger.com/profile/05574923392063917331noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4411785648168729661.post-31102671727420200522007-11-13T14:48:00.000+07:002007-11-13T14:52:21.596+07:00JUST DO IT<span style="font-family:verdana;font-size:85%;"><div align="justify"><br /><br />Ketika sebuah bisnis gagal menghasilkan kinerja terbaiknya, paling sering orang akan menyalahkan strategi sebagai biang keroknya. Padahal justru yang sering terjadi adalah sebaliknya di mana strategi yang telah disusun rapi; visi, misi dan tujuan, gagal pada saat dieksekusi. Dalam sebuah artikel yang berjudul “<em>Why the CEO’s Fail</em>” yang dimuat di Fortune Megazine tahun 1999, dikatakan bahwa sebab utama kegagalan leader adalah kesalahan eksekusi (<em>the lack of execution</em>).<br /><br />Hal serupa juga ditemukan Jim Collin dalam bukunya <em>Good-to-Great</em>. Berdasarkan hasil risetnya disimpulkan bahwa perusahaan yang bisa merubah dirinya dari good company menjadi great company sebenarnya tidak terlalu memiliki strategi yang spesial dibanding perusahaan pembanding (<em>comparison companies</em>). Sebaliknya eksekusi sangat berperan besar dalam tiga area yaitu <em>discipline of people</em>, <em>discipline of thought and discipline of action</em>. <em>Strategy per se did not separate the good-to-great companies from the comparison companies.</em> (Jim Collins).<br /><br />Bahkan dalam dunia perbankan dikatakan bahwa peranan strategi itu hanya sebesar 20% sedangkan bagian terbesarnya yaitu 80% ditentukan oleh ketepatan eksekusi. Jika demikian, apakah strategi menjadi tidak penting lagi?<br /><br />Tentunya tidak se-ektrim itu. Para penganjur eksekusi merasa bahwa terlalu banyak guru manajemen yang menyoroti strategi, leadership dan innovasi. Padahal apabila Anda membutuhkan strategi Anda tinggal memanggil jasa konsultan untuk merancangnya. Jika Anda butuh konsep kepemimpinan, maka segudang buku leadership sudah beredar di pasaran. Begitu juga dengan inovasi. Sebaliknya eksekusi nyaris menjadi lahan yang tidak tersentuh padahal menurut The National Association of Corporate Directors, eksekusi adalah salah satu poin yang harus menjadi fokus untuk evaluasi kinerja CEO. Mengapa demikian?<br /><br />Karena eksekusi tidak pernah dianggap atau diajarkan sebagai disiplin ilmu. Kedua, eksekusi tidak seksi karena dianggap masalah yang biasa didelegasikan oleh pemimpin kepada orang lain. Namun justru di sinilah uniknya. Untuk bisa melakukan eksekusi dengan tepat seseorang harus melakukan praktek langsung. Kesalahan dan belajar dari kesalahan adalah dinamika belajar eksekusi. <em>Learning by doing</em> adalah guru yang paling ampuh menghasilkan leader yang matang dalam eksekusi.<br /><br />Simon Jonathan, pengembang Extra Joss pernah mengatakan kepada saya bahwa biaya keberhasilan Extra Joss mahal, karena dibiayai dari beberapa kesalahan yang pernah dia lakukan di masa sebelumnya. Bagi Simon, strategi dan eksekusi perannya 50/50. Tak ada strategi orang gak dapat eksekusi sebaliknya ada strategi yang bagus sekali namun jika orangnya tidak berani mengambil resiko untuk eksekusi hasilnya sama saja nol besar.<br /><br />Kalo strategi titik poinnya adalah “kemana perusahaan akan dibawa (<em>where</em>) baru memikirkan sumberdayanya maka eksekusi adalah kebalikannya Eksekusi titik poinnya pada “apa yang kita miliki (<em>what</em>) baru menuju ke mana perusahaan akan dijalankan (<em>where</em>).<br /><br />Pemimpin yang mempunyai pendekatan eksekusi akan menggunakan gambaran langsung dan detil tentang apa yang diinginkannya dan bagaimana mencapainya. Contohnya Jeff Immelt CEO GE ia langsung menggunakan pernyataan yang membumi untuk inisasi perubahan. Ia meminta pekerjanya menggunakan teknologi untuk memperbaiki differensiasi, memerintahkan harga yang lebih baik, margin dan peningkatan pendapatan. Jeff Immelt melakukan perubahan yang berbasis eksekusi–langsung ke tujuan. Dengan mengatakan straigh forward dan jelas, orang dapat membayangkan dan mendiskusikan hal spesifik yang perlu mereka lakukan untuk mencapai target yang dia ucapkan.<br /><br />Bagaimana cara belajar melakukan eksekusi?. Dalam prinsip Marketing in Venus (MiV) ada sebuah prinsip ”<em>be intuitive not intrepretativ</em>e” yang intinya adalah mendorong orang untuk mengembangkan kemampuan intuisi untuk mengambil keputusan setelah berhasil membaca data pasar. Menurut kami, data pasar tidak lebih dari <em>guiding map</em> untuk menuju sasaran, sehingga harus didukung dengan pertimbangan wisdom dari pemimpin. Semakin tinggi wisdom seseorang maka akan semakin kuat intuisinya dalam membaca peluang dan perkembangan pasar. Kata Joseph Pine dan James Gilmore dalam bukunya The Experience Economy dikatakan bahwa wisdom adalah tingkatan tertinggi dari hirarki pengetahuan, sedangkan data pasar hanya sampai pada hirarki informasi. Oleh karena itu interpretasikan data dan buatkan keputusan dengan intuisi yang berbasis wisdom yang kuat.<br /><br />Budaya organisasi juga harus didesain sehingga mendorong individu untuk berani mengambil keputusan eksekusi sehingga bukan hanya leader saja yang melakukan eksekusi. Caranya adalah dengan menghubungkan sistem reward dengan performance. Pemimpin juga harus menjadi <em>role model</em> untuk mendorong pengikut berani mengambil langkah-langkah eksekusi, persis seperti yang diungkapkan kata bijak Dick Brown: </div><div align="justify"><br />” <em>You change the culture of a company by changing the behavior of its leaders. You measure the change in culture by measuring the change in personal behavior of its leaders and performance of the business.”</em><br /><br />Terakhir sebagai modal yang dari semuanya, perusahaan harus memiliki right man on the right place. Ini adalah ujung tombak eksekusi dimana permulaannya selalu diawali dengan melihat sumberdaya (<em>what</em>) yang salah satunya adalah manusia. Jim Collin mengatakan bahwa perusahaan yang bisa <em>good-to-great</em> salah satu cirinya adalah fokus untuk mendapatkan dulu orang-orang terbaiknya, baru menetukan kemana bis (perusahaan) diarahkan. ”<em>They first got the right people on the right bus (and wrong people off the bus) and then figured our where to drive it.”</em><br /><br /> </span></div>Marketing Gameshttp://www.blogger.com/profile/05574923392063917331noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4411785648168729661.post-78001309319409595552007-11-13T14:41:00.001+07:002007-11-13T14:48:03.308+07:00Memasarkan Lewat Jalur Komunitas Pelanggan<div align="justify"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Dalam buku Metrosexual in Venus MarkPlus mengatakan bahwa komunitas pelanggan (customer community) merupakan media yang ampuh untuk memasarkan produk. Walaupun dalam buku tersebut kami mengatakan bahwa hal tersebut dilakukan secara spesifik untuk pasar metroseksual yang memang kini tumbuh begitu pesat di seluruh dunia, namun sesungguhnya pemasaran melalui komunitas pelanggan tersebut berlaku untuk semua industri dan pasar, mulai dari makanan hingga bank, dari penerbangan hingga film.<br /><br />Saya melihat pemasaran melalui komunitas pelanggan menjadi semakin krusial karena secara emosional pelanggan semakin suka berinteraksi satu sama lain dan membentuk komunitas. Customer base Anda akan kokoh jika merek Anda bisa menjadi wahana untuk bertemu dengan orang lain, membangun relationship, dan menemukan orang-orang yang memiliki satu minat di mana mereka bisa saling berinteraksi. Merek Anda akan sangat ampuh jika Anda mampu mengakomodasi pelanggan untuk membangun komunitas, dan memungkinkan setiap anggota komunitas tersebut berinteraksi satu sama lain.<br /><br />Saya punya beberapa alasan mendasar kenapa pemasaran melalui komunitas pelanggan ini semakin penting.<em><strong> </strong>K</em>arena pemasaran melalui komunitas tak hanya menghasilkan pelanggan loyal customer, tapi juga advocator customer. Pelanggan jenis ini selalu mati-matian membela merek dan produk Anda. Mereka selalu menjadi juru bicara dan “papan iklan berjalan” yang baik bagi merek Anda. Mereka akan marah kalau mendengar orang lain menjelek-jelekkan merek Anda. Itulah yang terjadi pada beberapa komunitas pelanggan seperti komunitas Harley-Davidson, komunitas multi-level marketing, komunitas Machintos-nya Apple Computer, komunitas Linux, dan lain-lain.<br /><br />Karena jenis pelanggan yang Anda hasilkan adalah advocator customer maka mereka akan cenderung menjadi salesman Anda yang sangat fanatik. Mereka akan cerita ke orang lain dan merekomendasikan merek dan produk Anda. Kita tahu rekomendasi pelanggan atau customer referral adalah alat promosi dan jualan yang sangat efektif dan ampuh mempengaruhi pelanggan prospek. Dan harus diingat, cara ini sangat murah karena Anda tak perlu mengeluarkan anggaran jutaan bahkan miliaran rupiah untuk iklan di koran dan televisi.<br /><br />Kalau diferensiasi adalah faktor kunci untuk memenangkan persaingan, saya berani bilang, diferensiasi merek mestinya tak hanya dilakukan melalui kualitas produk yang oke, layanan yang excellent, atau teknologi yang canggih, tapi juga melalui bagaimana Anda membangun komunitas pelanggan dan bagaimana Anda menghubungkan dan menginteraksikan satu pelanggan dengan pelanggan lain di dalam komunitas tersebut.<br /><br />Kenapa, misalnya, Amazon.com lebih unggul dari barnesandnoble.com dan borders.com, terletak pada orientasi Amazon.com dalam melihat pelanggannya sebagai sebuah komunitas. Sejak berdiri tahun 1995 Amazon.com merancang situsnya sebagai komunitas pecinta buku, bukannya para pembeli buku secara individual. Mereka adalah keluarga besar Amazon.com dengan minat dan keinginan yang sama, yaitu kecintaan pada buku.<br /><br />Bagaimana Amazon.com membangun dan mengembangkan komunitas ini? Caranya adalah memfasilitasi dan mendorong anggota untuk saling berinteraksi dan memberikan layanan pelanggan yang melibatkan secara penuh para anggota komunitas. Para anggota komunitas Amazon.com ini dapat memilih buku yang mereka inginkan secara mudah, mendiskusikan buku-buku yang baru terbit dengan menulis meresensi dan memberikan rating, mendapatkan rekomendasi buku-buku lain yang dibaca oleh para peminat buku sejenis di dalam komunitas. Diferensiasi berbasis komunitas inilah sesungguhnya diferensiasi utama Amazon.com yang memungkinkannya unggul dari dua pesaing terdekatnya.<br /><br />Lalu bagaimana kita memasarkan melalui komunitas? Harus diakui, memasarkan merek di dalam sebuah komunitas bukanlah pekerjaan gampang. Pendekatannya memang agak lain dari pendekatan konvensional. Anda sudah tak bisa lagi menggunakan paradigma produsen-konsumen dalam memasarkan merek Anda. Kenapa? Karena lingkungan di dalam komunitas bersifat egaliter dan peer to peer. Seperti tercermin dalam model bisnis eBay, orang-orang di dalam komunitas adalah produsen sekaligus konsumen, mereka pembeli sekaligus penjual.<br /><br />Karena itu Anda harus smart! Posisikan merek Anda sebagai “anggota” komunitas, bukan sebagai produsen. Sebagai anggota komunitas Anda harus melakukan hal-hal penting berikut ini. <strong><em>Pertama,</em></strong> dorong interaksi dan komunikasi yang intensif antar sesama anggota komunitas dan lakukan lakukanlah soft-selling, bukan hard-selling dalam jualan produk. <strong><em>Kedua,</em></strong> jalankan fungsi fasilitasi, Anda harus menjadi fasilitator yang baik bagi komunitas dan kalau Anda sudah menjadi fasilitator yang baik, bangunlah “sense of community” ke seluruh anggota. <em><strong>Ketiga,</strong></em> saling perkenalkan antar anggota dengan satu minat (common interests) tertentu, dan dorong para anggota memberikan kontribusi kepada komunitas dan membantu anggota lain. Dan yang <strong><em>terakhir,</em></strong> ciptakan identitas, atau kalau mungkin, budaya komunitas.<br /><br />Satu hal yang terpenting dari segalanya adalah Anda harus menjaga kredibilitas dan trust.<br />Memang tidak mungkin kita membangun komunitas tanpa kepentingan. Pelanggan pun pasti paham dengan maksud kita, hanya saja maksud itu jangan terlalu dominan dan ’kentara’ tapi lakukan dengan halus, pilihlah soft selling daripada hard selling karena ingat tujuan menciptakan komunitas lebih kepada membangun relationship bukan selling. Ingat Bumi telah menjadi Venus di mana pelanggan sekarang menjadi pelanggan yang bukan hanya semakin sensitif tapi juga pintar membedakan apakah servis yang kita berikan tulus atau akan-akalan. Kalo hard-selling-nya terlalu dominan sampai pelanggan tahu ’hidden agenda’ kita, bisa-bisa malah kita yang ’dibujuki’. Pelanggan pura-pura mengikuti komunitas kita, memanfaatkan insentif dan emotional benefit yang kita berikan tapi tidak mau jadi referral bagi produk dan perusahaan Anda.</span></div>Marketing Gameshttp://www.blogger.com/profile/05574923392063917331noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4411785648168729661.post-48526076831955656132007-11-13T11:25:00.000+07:002007-11-13T11:32:49.141+07:00Memakai Endorser Tokoh Politik?Ada artikel menarik di Kompas Minggu, 11 November 07 yang lalu, disitu dibahas tentang kontroversi iklan Louis Vuitton yang dibintangi Michael Gorbachev. Tidak seperti iklan Louis Vuitton mengusung tokoh politik, biasanya iklan produk supermewah itu mengusung artis Hollywood dan supermodel dunia sekelas Chaterine Denueve, Keren Elson atau Scarlett Johansson. Terlepas dari kontroversi yang ditimbulkannya, iklan yang diluar pakem itu telah meruntuhkan anggapan bahwa tokoh politik adalah role model yang pantang ditampilkan dalam iklan produk.<br />Selama ini produk-produk hanya memakai sebagai PR model bukan Advertising Model, itu pun tanpa sengaja. Chanel bisa bangkit dari keterpurukan di tahun 19960-an ketika publik melihat Ratu Elizabeth dari Inggris memakai baju rancangan Chanel ke sebuah jamuan. Kemudian istri Presiden Kennedy “Jacky” juga terlihat memakai Chanel dalam sebuah acara resmi. Jadilah brand Chanel booming dan orang yang ingin terhormat seperti dua “ibu negara” itu berbondong-bondong memborong baju kerja Chanel yang terkenal beraliran simple itu.<br />Ada beberapa anggapan mengapa para marketer tidak berani memakai tokoh politik sebagai model. Pertama, alasan sustainability. Kita tahu peta politik selalu bergerak cepat, hari ini seseorang berkuasa namun belum tentu esok hari. Taksin Shinawatra contohnya adalah tokoh yang sempurna untuk dijadikan model: ganteng, kaya, berpendidikan, dicintai rakyat, dan yang lebih penting berkuasa. Produk apapun akan cocok dipakai Mr.Nice Guy ini, terlebih brand mewah. Demikian juga presiden Clinton yang sangat tampang dan gagah, dan terakhir bapak kebanggaan kita Mr. Susilo Bambang Yudhoyono yang tidak kalah ganteng dan gagahnya dengan contoh dua bapak bangsa tersebut. Saya yakin jika Pak SBY mengendorse sebuah brand, awareness brand itu akan melambung tinggi. Satu-satunya halangan hanyalah ketidakpastian politik. Branding memerlukan long term stabilization sedangkan politik tidak bisa menjamin itu.<br />Bagaimana jika Anda sudah keluar uang milyaran untuk iklan tiba-tiba tokoh politik yang Anda iklannya itu terganjal masalah atau dikudeta. Pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK sekarang ini sedikit menakutkan karena siapapun bisa masuk ke daftar KPK. Meski belum tentu terbukti jika endorser brand Anda “masuk” daftar KPK maka musnahlah sudah investasi yang ditanamkan. Bukankah marketing adalah perception business?<br />Kedua, alasan sentimen politik. Brand bisanya memilih sebuah karakter yang everlasting dan cenderung “netral” misalnya Harley Davidson: rebellious, Dove: confident, Honda: stylist, Yamaha: performance, Cosmopolitan: fun fearless female, Virgin: fun. Coba bayangkan jika Honda dipersepsikan motornya Pak SBY, Yamaha motornya Mbak Mega PDI atau Suzuki motornya Pak Sutiyoso karena masing-masing memakai ketiga calon presiden 2009 itu sebagai endorser? Kalau menang Pemilu barangkali menguntungkan namun jika kalah maka brand equity justru akan terdilusi, dan brand image yang dibangun susah-susah akan hancur.<br />Ketiga, kesetiaan partisipan. Syarat seseorang layak dijadikan endorser adalah ia mempunyai basis massa atau fans yang cukup banyak dan loyal. Tokoh politik mempunyai jumlah massa yang sangat besar namun apakah mereka cukup loyal? Terlebih lagi dalam sistem multipartai di Indonesia, kalau di Amerika Serikat enak hanya ada dua partai Republik dan Demokrat sehingga tidak terjadi migrasi loyalist yang terlalu menyebar. Jadi ingin menyasar segmen Demokrat, marketer tinggal memilih Hillary Clinton atau Barract Obama sebagai endorser dengan peluang 50-50 untuk menang.<br />Keempat, kesamaan positioning. Barangkali sekarang kita susah bicara mengenai point of differentiation dari pada tokoh politik negeri ini. Semua menghela nafas jika bicara hal ini. Yang jelas kelihatan diferensiasinya adalah tokoh-tokoh radikal seperti Amien Rais atau almarhum Munir. Namun bagi perusahaan rasanya terlalu berisiko untuk memposisikan sebuah brand sebagai rebellious kalau tidak yakin bahwa secara diferensiasi produk mampu menyokong janji itu. Meski demikian masalah utamanya lebih pada positioning tokoh politik yang cenderung “blur”.<br />Sebentar lagi Pemilu 2009, semuanya tokoh sudah ancang-ancang dengan politik pencitraannya, siapa tahu Anda ingin “memanfaatkan” mereka dan bersimbiosis mutualisma? Memang tulisan saya ini sedikit pesimis tapi itulah fungsi saya sebagai konsultan memberikan “warning”, tugas Anda sebagai entrepreneur adalah mengubah warning saya ini menjadi pedoman untuk mengendus opportunity yang oleh orang China disebut Wei Jie—dibalik bahaya selalu ada peluang yang terpendam.Marketing Gameshttp://www.blogger.com/profile/05574923392063917331noreply@blogger.com0