Selasa, 07 April 2009

Brand itu Seperti Donat

Menyampaikan sebuah konsep dengan bahasa lebih sederhana ternyata jauh lebih sulit dibandingkan menyampaikan dengan bahasa yang panjang dan lebar. Apalagi jika lawan bicara adalah orang awam. Alkisah mahasiswa di kelas saya bertanya di akhir sesi perkuliahan, “ Pak apa sich sebenarnya esensi dari konsep brand yang disampaikan selama dua jam ini?”
Waduh, seketika saya kaget harus jawab apa? Dua jam saya nerangin konsep brand dari mulai perbedaan brand vs produk. Bahwa brand itu dibangun di otak pelanggan sedangkan produk dibangun di pabrik, sampai konsep brand equitynya David Aaker bahwa ekuitas (nilai) sebuah brand dibentuk oleh lima elemen yakni pupularitas (awareness), persepsi akan kualitasnya, asosiasi brand apakah positif ataukah negatif, daya saingnya, dan aset lain. Lima elemen itupun sudah saya detailkan satu per satu bahkan saya lengkapi dengan contoh kasus. Masak dia nggak paham, sedang teman-teman lainnya mengerti?
Jadi, saya duga dia tidak mungkin nggak paham. Saya simpulkan pertanyaan justru pertanyaan ujian buat saya dari seorang yang tahu tentang brand dan branding.
Kira-kira tiga kedipan mata, langsung saya teringat pada donut yang dibawakan istri tercinta untuk sarapan saya. Bentuknya bulat tengahnya kosong, dan ada berbagai macam taburan coklat di atas permukaannya. Seketika saya sadar bahwa itulah brand..Ya, Brand itu seperti tengahnya donat, KOSONG!. Sedangkan taburan coklat yang ada di atas permukaan itulah BRANDING—segala macam aktivitas yang membuat brand mempunyai identitas, karakter, dan hidup di hati pelanggan.
Brand pada level 1 hanyalah sebagai identitas (level 2 adalah brand bagian dari citra individu dan budaya masyarakat). Makanya brand di level 1 identik dengan logo.”Brand ya logo, logo ya brand, gitu aja kok repot, “ kata teman bisnis saya. Pada level 1 memang brand hanyalah berfungsi tidak ubahnya seperti merek dagang lengkap dengan logo dan identitas visualnya. Inilah yang saya sebut BRAND ITU KOSONG, kayak tengahnya donat!
Percuma anda punya logo yang bagus dan trendy tapi tidak dihidupkan! Apalagi jika brand Anda secara visual sangat kece tapi kualitas isi dan hantaran servisnya payah! Itu bagaikan ORANG JELEK PAKE BAJU BAGUS—Sementara orang lihat dari jauh keren, tapi begitu dekat kecewa, “ Ach ternyata orangnya jelek, bajunya doank yang bagus.” Tapi bukan berarti pakai baju bagus salah? Brand bagus adalah awal yang baik untuk menuju sukses. Lebih baik khan orang jelek pake baju bagus daripada orang jelek tapi tetap saja nekad pake baju jelek? Hasilnya JELEK KUADRAT!
Brand itu bajunya, sedangkan hasil dari aktivitas Branding itu karakter orangnya yang cakep. Brand itu tengah donat yang kosong (gak ada apa-apanya), sedangkan Branding akan menghasilkan taburan coklat warna warna yang memukau mata, dan kalau “di makan” rasanya mantap bukan main sampai kita nambah ingin makan lagi.
Seketika mahasiswa saya menggangguk tanda puas, nggak berani tanya lagi!

Kesadaran Brand &Branding Itu Level 2 Bisnis Franchise.
Ada seorang pembicara bertanya retorik kepada peserta seminar,” Apa kunci sukses bisnis franchise?” Ia pun menjawab sendiri, “ Ada dua yakni hubungan dan sistem.” Sebenarnya di lubuk hati saya menunggu-nunggu jawaban ketiga. Apa itu? BRAND.
Coba pikirkan, “ Apa yang dibeli orang dari bisnis franchise mahal-mahal?” Jawabnya adalah ekuitas-nilai brand (brand equity) . Hubungan dan sistem hanyalah pembentuk ekuitas brand. Dua-duanya adalah variabel independen yang saling bersinergi dengan variabel independen lain sehingga meningkatkan atau menurunkan ekuitas brand.
Mengapa Anda membeli franchise Mc Donald? Karena ekuitas brand Mc Donald itu seharga US$ 31 milyar (data Best Global Brands, Interbrand 2008). Franchisor apa saja pasti menawarkan harga hak franchise di atas biaya investasi riel. Misalnya, kalau hanya dinilai dari sistem, prosedur, network, atau infrastruktur yang diberikan, barangkali Anda tidak layak membayar ratusan juga untuk membeli hak franchise sebuah bengkel motor atau salon mobil. Menjadi layak lantaran Anda melihat brandnya populer, asosiasinya selalu bagus, dikenal berkualitas, berdaya saing, dan lain sebagainya.

Menjadi layak karena Anda tidak perlu melakukan jerih payah seperti dilakukan sang franchisor dari awal lahir sampai sukses. Jadi, layaklah kalau brand is priceless-Saking mahalnya brand itu bahkan takternilai. Mahalnya karena proses membangun brand tidak bisa diduplikasi seperti Anda membuat produk. Strategi branding yang sama tidak akan menghasilkan dampak yang sama ketika lingkungan bisnis berubah.
Brand juga harus terus dijaga dengan akivitas branding yang konsisten. Saya amati dalam beberapa kasus pada saat awal mewaralabakan, franchisor getol beriklan, melakukan kegiatan publisitas, sehingga menjadi terkenal dan menyedot perhatian masyarakat. Produknya pun sangat dijaga dari penurunan kualitas. Namun, begitu sukses mendapat banyak franchisee, upaya branding ini tidak dilanjutkan lagi sehingga dua-tiga tahun kemudian, brandnya tenggelam digilas pendatang baru. Oleh karena itu, bagi teman-teman pembaca yang ingin membeli hak franchise selain sistem, network, support, juga perlu dilihat apakah franchisor punya visi dan rencanya detail tentang brandnya. Punya nggak dia rencana aktivitas branding yang konsisten dari tahun ke tahun? Tanyakan tahun pertama sebagai franchisor akan melakukan apa? Tahun kedua akan melakukan apa, dan seterusnya. Kemana brand akan diposisikan, apa keunikannya sekarang, apa keunikan selanjutnya yang ingin dibangun? Berapa budget iklannya setahun? Dan lain sebagainya. Kalau ada berarti patut untuk dipilih.
Ingat bahwa membeli hak franchise adalah membeli kesuksesan di masa datang, bukan kesuksesan hari ini. Karena bisa jadi hari ini si franchisor sukses, tapi kalau tidak ada visi yang jelas dan detail bisa jadi kesuksesan hari ini tidak akan langgeng menjadi kesuksesan yang akan dirasakan franchisee.
Akhir kata saya ingin bilang, “ Tolong jangan kalau beli franchise jangan beli pabriknya, tapi belilah pelanggannya.” Produk di pabrik sedang brand di benak pelanggan. Kalau di benak pelanggan nilai brand tidak dijaga, pabrik bisa tutup saat itu juga. Tapi kalau pabriknya tutup, sepanjang pelanggan masih suka, kita bisa cari pabrik lain yang bisa membuat produk lebih bagus dan lebih murah. Setuju nggak?