Kamis, 22 November 2007

KAPAN KE JOGJA LAGI? Jogja's New Marketing Campaign



Rabu, 21 November 2007, saya ngangkring (istilah Jogja untuk nongkrong) bareng Mas Arief, CEO Aseli Dagadu Jogja, di Excelco Malioboro Mall. Sejak Selasa saya memang di Jogja, ada acara wisuda adik saya di UGM. Setelah menanyakan kabar masing-masing, akhirnya Mas Arief membuka inti pembicaraan sore itu tentang visi kami untuk menjadikan Jogja sebagai kota berbasis ekonomi kreatif (creative economy). Saya melihat dari sekian banyak kota di Indonesia, Jogja-lah kota yang paling tepat untuk dijadikan basis creative economy yang dicanangkan Pak SBY, bukan Jakarta. Ada beberapa alasan yang mendasarinya, terutama jika saya mem-benchmark Jogja dengan daerah paling kreatif Silicon Valley.

Pertama, ketersediaan SDM. Jika berbicara mengenai creative economy maka unsur paling penting adalah “soft aspect” yakni kualitas SDM. Jogja sejak lama sudah dikenal sebagai kota pendidikan, kota seni, dan kota budaya dengan universitas sebagai mesin penghasil cendekiawan yang tidak pernah putus. Silicon Valley bisa berkembang pun karena dukungan universitas di seputar San Fransisco seperti Stanford University dan University of California at Barkeley.

Kedua, tersedianya “cool green house” yang mendukung tumbuhnya kreatifitas. Mengembangkan kreatifitas itu seperti menumbuhkan sebiji tanaman, jika ingin cepat besar lingkungan harus dikondisikan sehingga tumbuhan yang hidup di rumah kaca (green house) jauh lebih cepat tumbuh besar ketimbang yang ada di luar rumah kaca. Demikian juga kreativitas akan tumbuh cepat jika ada lingkungan yang mendukung tumbuhnya ide-ide baru. Lingkungan kota Jogja yang berhawa sejuk, bebas polusi, dengan budaya masyarakatnya yang komunal namun berpikiran terbuka, menjadikan kota ini sangat “cool” untuk mendorong munculnya ide baru. Pemusik Katon Bagaskara konon menciptakan hampir semua lagu Kla Project di daerah Wisata Kaliurang. Jogja juga punya ribuan tempat nongkrong dari mulai kedai Angkringan Kopi Joss di samping Stasiun Tugu sampai coffee shop modern sekelas Starbucks. Mirip suasana Silicon Valley yang penuh dengan taman dan tempat ngopi yang asik.

Ketiga, jiwa entrepreneurship. Mempunyai ide segudang tidak cukup jika tidak dilanjutkan dengan proses komersialisasi ide (creativity meets commercialization). Di Silicon Valley katanya ada dua golongan masyarakat: pertama, golongan pemikir kreatif dan kedua, golongan pemodal. Kedua golongan ini saling mendukung dan membangun network dan saling membutuhkan. Ketika ada sebuah ide kreatif baru yang visioner sekaligus komersial, maka golongan pemodal ini dengan optimis akan mendukung pendanaan proyek kreatif itu menjadi sebuah produk nyata. Jangan dibayangkan ada proses yang rumit seperti Anda mengajukan kredit ke bank, para pemodal ini akan rela memberikan milyaran dananya begitu ada satu titik peluang komersial yang terkandung dalam sebuah ide. SteveJobs tidak akan bisa mendirikan Apple tanpa bantuan partner investornya Steve Wosziak.

Keputusan cenderung dibuat dengan sensing bukan analysis karena keberhasilan inovasi pada fase awal biasanya tidak mudah untuk dikalkulasikan dalam sebuah angka-angka parameter feasibility studies. Di sinilah pentingnya jiwa entrepreneurship untuk bisa mendorong munculnya sense of opportunity ketika melihat sebuah ide baru yang relatif masih “mentah”. Jiwa entrepreneurship kota Gudeg bisa Anda rasakan berdenyut di setiap pojok kota. Saya sendiri yang sering balik kampung, selalu terkejut dengan berdirinya usaha-usaha baru yang bertebaran di sepanjang jalan protokol sampai jalan pedesaan yang membelah persawahan.

Hal ini karena menjadi orang gajian di Jogja sungguh tidak meng-enakkan karena UMR di kota Gudeg ini relatif kecil sekali, susah mencari gaji Rp 1 juta untuk seorang lulusan sarjana. Perusahaan kelas nasional dan multinasional juga tidak genap ada sepuluh jari. Oleh karena itu, para alumni S1/S2 yang tidak mau pergi ke Jakarta tidak ada pilihan lain selain menciptakan bisnis-bisnis baru yang kreatif, seperti “angkringan” hot-spot, thematic restaurant/cafĂ©, advertising agency, publisher, distro, atau entertainment.

Keempat, nilai sosial yang mendukung. Sebuah proses kreatif tidak akan jalan pada sebuah masyarakat yang memiliki sikap menyalahkan dan menghukum. Sebaliknya sebuah proses kreatif akan tumbuh pada masyarakat yang pemaaf dan pemurah. Konon di Silicon Valley ada budaya untuk menghargai kegagalan. Orang yang gagal mencoba lebih dihargai daripada orang yang cerdas namun miskin keberanian. Kota Jogja sebagai pusat budaya Jawa mempunyai budaya “forget and forgiveness” (lupa dan memaafkan) yang kental. Kota ini juga relatif belum tercemar dengan budaya hedonis yang mendewakan materi. Mungkin Anda tidak percaya karena Anda belum masuk ke area komunal Jogja dan hanya melihat simbol-simbol hedonisme modern yang tercermin di billboard, spanduk, dan jumlah franchise yang masuk ke kota ini. Sehingga sangat mendukung untuk menculnya ide kreatif karena tidak ada halangan mental (mental blocking) yang membebani individu.

Kelima, kualitas hidup yang lebih baik. Stres merupakan pembunuh kreativitas nomer wahid. Kita yang tinggal di Jakarta pasti pernah merasakan tidak bergairah seharian di kantor karena waktu berangkat terkena macet berjam-jam, kecopetan di angkot, atau mobil kita di serempet sepeda motor, diumpatin orang di jalan, dan lain sebaginya. Akibatnya mood bekerja kita hancur, dan lelah mental sehingga jangankan berpikir kreatif, menjalankan tugas rutin yang tanpa berfikir saja kita malas mengerjakannya. Kehidupan warga Jogja nyaris tidak terganggu dengan faktor eksternal yang disebabkan masalah perkotaan seperti kemacetan, kejahatan, banjir, dan lingkungan yang kumuh sehingga tidak mengherankan jika Jogja menjadi kota yang memiliki skor harapan hidup tertinggi se-Indonesia.

Berdasarkan lima parameter di atas, saya yakin Jogja merupakan salah satu kota yang sangat potensial menjadi basis creative economy Indonesia. Untuk mendorong visi terebut mas Arief dengan jiwa sosialnya telah memulainya dengan kampanye bertajuk “KAPAN KE JOGJA LAGI?” (KKJL) untuk mendorong geliat TTI (Tourist, Trade, Investment) masuk ke Jogja khususnya yang berbasis ekonomi kreatif. KAPAN KE JOGJA LAGI???

Sabtu, 17 November 2007

Launching Buku Roy Goni



Jumat malam 17 November 2007, saya datang ke acara peluncuran buku Playing to Win-nya Roy Goni. Kebetulan saya sudah membeli dan membaca buku ini dua-tiga bulan yang lalu saat pertama kali muncul di Gramedia, jadi sangat bersikukuh tetap datang mesti sejuta masalah sedang bergalut di pikiran dan hati.

Seperti biasa, saya tidak tahan kalau tidak tepat waktu, waktu menunjukkan jam 6 lebih sedikit namun ruangan Hotel Sahid yang dipakai Roy nampaknya sepi sekali. Namun begitu masuk ruangan ternyata sudah ada Pak Roy dan beberapa teman dari Indonesia Manajer Club (IMC). Saya duduk semeja dengan Pak Jims, seorang Doktor Manajemen dari Atmajaya, pak Taufik dari Brainware, pak Hariyadi Sukamdani dari HIPMI sekligus pemilik majalah Pengusaha, mas Dwi Helly dan Mas Anung dari Gramedia, seorang wartawan Kontan, dan satu lagi seorang mantan eksekutif Lippo Group. Suasananya guyup meski sedikit kurang dinamis karena banyak didominasi warga senior. Makhlum dari ngobrol-ngrobrol organisasi IMC ini sudah berdiri sejak 1980 dan Hermawan Kartajaya (HK) pernah aktif kala baru membangun MarkPlus (ehm..aku jadi ingat cerita HK saat membangun MarkPlus dari bawah di Surabaya).

Singkatnya acara lumayan hening, namun tidak menyurutkan minat saya menyimak presentasi Roy Goni. Kalau Anda pernah melihat presentasi James Gwee dan Hermawan Kartajaya, maka Roy Goni bisa dibilang gabungan dua guru di atas. James Gwee bagi saya adalah seorang pencerita kisah guru selling dan motivator sedangkan Hermawan Kartajaya adalah seorang inspirator ulung. Kalau Roy berada di tengah, meskipun story telling tidak semengalir James Gwee tapi dia cukup bagus menceritakan kasus perusahaan dunia, tidak seperti dosen pada umumnya yang biasanya di “mabuk konsep”. Roy juga secara konsep juga menguasai dan ter-update, jadi singkat cerita saya enjoy menikmati dia berbicara sampai akhir. Bahkan di sesi tanya jawab saya sempat aktif berkomentar dan menyarankan untuk buku ini dikembangkan menjadi sebuah buku strategi yang ada modelnya Playing to Win in The Era of Copycat Economy. Tak disangka Roy senang sekali dan berjanji akan membuatkannya untuk kita semua di buku selanjutnya. Pak Taufik dari Brainware juga setuju dan menyarankan hal serupa.

Mengenai bukunya Roy, sangat bagus, enak dibaca, dengan kasus yang lumayan lengkap. Sampulnya termasuk bisa stand-out dan menarik dengan tata letak dan font yang akrab bagi mana segala usia. Ada niat dari desainernya untuk sedikit “nakal” dengan memasukkan beberapa gambar kontektual, shading, dan permainan huruf di halaman pemisah antara bagian untuk mengurangi kebosanan pembaca. Dalam buku 345 halaman ini Anda bisa menikmati tulisan pendek (kolom) Roy yang membahas lima tema marketing yakni: customer rule, dream marketing, strategi harga, strategi merek, strategi dan teknik bersaing.

Saya menikmati buku Roy Goni ini dan terus terang membacanya sampai habis. Saya katakan ke Roy kalau bukunya ini memudahkan pembaca belajar marketing karena Roy memasukkan konsep marketing lengkap dari guru-guru favorit saya seperti David Aaker dan Kevin Keller (brand dan branding), Frederich Reichheld (customer loyalty), Bernd Schmitt dan Marc Gobe (experiential/ emotional Marketing), Jack Trout-Al Ries, Porter, Kotler (strategic marketing). Great book Pak Roy!!!

Kamis, 15 November 2007

The Rise of Brand Placement? Fact#2: Tupperware Party Selling &Yamaha Mio Campaign



Siapa tidak kenal Tupperware hari ini barangkali hanya orang di suku terpencil. Di kantor saya bahkan telah menjadi peralatan wajib yang harus dibawa ke kantor supaya kopi yang dibuat istri bisa diminum sambil menyetir mobil atau mengerjakan tugas-tugas kantor. Anehnya meskipun terlihat sepele, saya kagum pada produk ini karena realiabiilitasnya yang luar biasa: tahan panas-dingin, awet, dan tentu saja bebas bahan kimia jadi nggak perlu kawatir keracunan seperti produk “tiruannya” dari China.

Produk bagus laris manis terjual sudah biasa. Namun yang luar biasa adalah jika produk itu nyaris tidak pernah beriklan, hanya memakai channel lain kecuali MLM dengan model jualan party selling yang tidak pernah berubah sejak didirikan oleh Earl Silas Tupper di tahun 1946. Sebuah contoh strategi pemasaran yang sangat efektif sekaligus efisien. Dalam sejarah barangkali hanya dua perusahaan jenis direct-selling yang paling sukses yakni Amway dan Tupperware ini.

Mengambil inspirasi dari Tupperware, saya melihat penempatan brand di tengah-tengah kerumunan orang (community present) seperti di arisan, gathering, pertandingan golf, tempat nongkrong anak muda, atau pun di sekolah/universitas adalah strategi brand yang sangat cerdik. Khususnya untuk brand yang produknya termasuk sophisticated, susah dipahami, dan bermuatan teknologi baru.

Kasus rielnya pada kampanye Yamaha Mio yang masuk ke sekolah-sekolah dan bahkan ke arisan ibu-ibu. Teman saya Pak Hendry dari Yamaha Motor Kencana Indonesia (YMKI) yang mengagas kampanye ini mengatakan bahwa tujuan acara “Mio masuk kampung” ini adalah untuk mengenalkan brand lebih dekat ke pelanggan, mendorong interaksi, dan menghilangkan sikap resisten atau keragu-raguan dalam menerima produk Mio yang berteknologi tinggi (otomatik). Setelah mencoba barulah para ibu-ibu yang dulunya takut kalau naik Mio nggak bisa ngerem alias nyelonong, menjadi hilang.

Brand Present di komunitas ini pastinya tidak bisa berdiri sendiri namus didukung oleh tim salesman yang mempunyai product knowledge yang bagus sehingga bisa menjelaskan fitur unggulan dan menunjukkan bukti otentik outputnya. Seperti ketika kita datang ke acara Party Selling-nya Tupperware, sales consultant –nya bukan hanya mahir berbicara namun juga mahir mempraktekkan pemakain aneka produk Tupperware untuk aneka kegiatan masak-memasak. Dampaknya bukan hanya rasa takut yang hilang namun hasrat membeli pun tergugah dari lubuk hati. Beli, beli, beli !!!!

Rabu, 14 November 2007

The Rise of Brand Placement? Fact #1: Reebok Buat Acara TV” Framed”


The New York Time, 13 November 2007 mengatakan Reebok sedang merancang sebuah acara interview di TV kabel dengan judul “Framed”. Acara yang rencananya akan menghadirkan para endorser brand Reebok dan Rbk itu telah siap tayang 3 episode sampai akhir 2007, tiga episode di awal tahun 2008 dan enam episode lainnya akan menyusul sepanjang tahun. Acara “soft selling” ini bertujuan untuk mendekatkan hubungan para endorser brand mereka seperti Thierry Hanry, Alan Iverson, pemain baseball David Ortiz dengan masyarakat dan Reebok sebagai perusahaan yang merekrut mereka.


Karena belum ada contoh videostream-nya, saya pun belum jelas bagaimana format acara Framed ini, tapi sepintas bisa dibayangkan barangkali seperti “Ceriwis”-nya Indi Barend dan Indra Bekti itu. Dibuka dengan feature artis—cerita seputar perjananan hidupnya, lalu sedikit tentang kisah Reebok sebagai produk dan perusahan. Yah, mungkin agar boring sih kalo mbayangin-nya, sama boring-nya ngeliat acara Coffee Bean Show di sebuah TV swasta Indonesia.


Tapi yang jelas fakta ini sangat kuat mendukung argument saya, bahwa sekarang sedang marak brand placement di media alternatif, karena iklan semakin kehilangan daya tariknya. Di format apapun, dari mulai dibuat lucu seperti ClassMild, dibuat sok empati kayak “A mild” , dibuat semi film kaya Pond versi Karena Wanita Ingin Dimengerti, smart customer tetap melihat iklan ya iklan, iklan ya jualan!! sehingga ketika iklan muncul sebaguh apapun orang langsung reflek meminta channel ke TV lain. Apalagi dengan menjamurnya TV kabel yang “nggak ada” iklannya.


Sayangnya “nafsu” hard selling masih sering menodai ksebuah brand placement yang smart seperti acara Framed ini. Pola pikir “Nggak mau rugi kalo Nggak ngomong brand Nggak nunjukin brand” sering meruntuhkan format acara yang sebenarnya menarik. Mendengar Thierry Henry cerita saja pasti sudah menarik, namun menjadi berputar arah ketika Thierry Henry mulai cerita sepatu Reebok punya kelebihan A.B.C.D..pasti boring banget!


Jadi, jangan heran jika acara semacam ini semakin susuh dijual dan menarik minat pemirsa. Teman saya, PR manager BCA misalnya lagi pusing bagaimana meningkatkan rating acara Gebyar BCA dan Halo BCA. Saran saya ke dia, kurangi nafsu untuk tampil dan buatlah acara yang benar-benar customer-centric sesuai kebutuhan pemirsa dan jangan terlalu hard selling, kalau bisa diubah namanya jangan Halo BCA. Ingat sekarang adalah jamannya smart customer, mereka tahu kok brand Anda apa nggak usah bilang eksplisit. Mereka akan menghargai ketulusan Anda dan tanpa sadar akan memasukkan nilai empati menjadi bagian dari brand value Anda. Tampak dan mononjol sekarang bukanlah alat memenangkan perang pemasaran terlebih buat sebuah brand yang sudah mapan!

Selasa, 13 November 2007

Value Creation Pelanggan Kakap

Teman saya seorang penjual traktor di Group Astra. Dia mengaku hidupnya berubah ketika mulai mendapatkan pelanggan kakap dari perusahaan-perusahaan besar. Dia bisa membeli mobil, rumah, dan gadget yang dia inginkan. Singkat kata, derajat ekonominya meningkat sejak rutin berhasil mendapatkan pelanggan kakap.

Teman saya yang lain, pemilik perusahaan call center, mengaku bisnisnya menjadi semakin maju setelah mendapatkan kepercayaan untuk memasok jasa call center ke sebuah bank papan atas nasional. Setelah bank yang warna korporatnya biru tersebut memercayakan layanan call center-nya ke perusahaannya, dia dengan mudah mendapatkan pelanggan dari bank nasional lainnya.

Kahadiran pelanggan kakap selalu ditunggu setiap perusahaan karena membawa banyak dampak positif. Pertama, bagi perusahaan mendapatkan pelanggan kakap berarti jaminan kestabilan keuangan karena pelanggan kakap biasanya membeli dalam jumlah banyak, dalam kurun waktu lama (tahunan), dan tidak sensitif terhadap harga. Kedua, bagi karyawan, keberhasilan perusahaan mendapatkan pelanggan kakap akan mengangkat motivasi kerja. Ketiga, bagi pemegang saham dan pelanggan terkini, kemampuan perusahaan mendapatkan pelanggan kakap meningkatkan kepercayaan yang sudah terjalin selama ini. Jadi bukan hanya penjualnya saja yang senang mendapatkan pelanggan kakap karena mendapat komisi besar, seluruh stakeholder perusahaan ikut merasakan dampak positifnya. Inilah mengapa perebutan di segmen creme de la creme sangatlah sengit.

Beberapa faktor pendorong yang membuat perusahaan lebih memilih memokuskan pada pelanggan kakap terpilih daripada menyasar semua segmen antara lain: Pertama, karena perubahan lingkungan bisnis yang dasyat, misalnya merger dan akusisi, membawa perubahan cepat pada organisasi penjualan. Kedua, era multi sourcing telah menciptakan peluang bagi setiap perusahaan di dunia untuk mendapatkan kontrak kerja dari perusahaan multinasional. Ketiga, semakin luasnya adopsi pengelolaan berbasis just in time yang mensyaratkan adanya strategic partnership dengan pemasok. Keempat, persyaratan di perusahaan negara dan beberapa perusahaan swasta untuk memprioritaskan pemasok yang masuk Daftar Rekanan Terbaik perusahaan.

Dari survei yang saya lakukan, rata-rata perusahaan yang gagal memperolah pelanggan kakap adalah perusahaan yang mengalami: (1) desintegrasi organisasi sehingga antar fungsi tidak terjalin kerjasama yang baik dalam upaya mendapatkan pelanggan kakap, (2) tidak memiliki infrastruktur teknologi yang memadai sehingga prospek dari perusahaan besar merasakan hambatan dalam berhubungan. Bukankah kita lebih suka berteman dengan orang yang “satu tingkat”? Demikian pula perusahaan.

Sedangkan peran faktor eksternal seperti meningkatnya persaingan akibat globalisasi dan e-commerce menjadi faktor ketiga yang akan gampang diatasi jika faktor pertama dan kedua ini diperbaiki.

Mengenali Pelanggan Kakap
Pelanggan kakap merupakan pelanggan yang memberikan kontribusi besar kepada peningkatan kinerja keuangan perusahaan, citra perusahaan, maupun strategic positioning perusahaan di pasar. Pelanggan kakap pasti datang dari perusahaan berskala besar: perusahaan multinasional atau nasional. Jarang pelanggan kakap berasal dari perusahaan kecil kecuali jika ia merupakan institusi yang memiliki network yang luas atau pendapatnya disegani oleh pasar. Perusahaan riset dan konsultan misalnya, barangkali dari segi skala bisnis kecil namun opininya sangat berharga dan bernilai strategik bagi sebuah perusahaan. Demikian juga dengan perusahaan media, seperti stasiun televisi-radio, dan penerbit surat kabar, meskipun kecil namun kekuatannya dalam mempengaruhi opini publik sangat kuat.

Perusahaan riset, konsultan, dan media merupakan pengecualian, secara umum yang dimaksud pelanggan kakap adalah perusahaan sekelas Group Astra Internasional, Indofood, Unilever, P&Q, Medco Energi, Pertamina, Telkom, dan lain sebagainya. Sekali penjual bisa menembus perusahaan yang selalu menghuni deretan LQ-45 tersebut, maka potensi pendapatan di masa datang yang bisa diperoleh sangat besar sekali.

Bank Mandiri misalnya bagi sebuah perusahaan pelatihan dan pengembangan adalah masuk dalam daftar pelanggan kakap karena memiliki budget pelatihan tahunan sekitar 4-5 miliar rupiah per tahun. Apabila target penjualan tahunan perusahaan pelatihan itu adalah 10 miliar maka apabila bisa mendapatkan Bank Mandiri maka potensi kontribusi yang diperoleh akan mencapai 40-50 % dari target anggaran.

Pelanggan kakap bagi PT. Adhi Karya (Persero) misalnya adalah perusahaan multinasional di Timur Tengah yang memberikan proyek kontruksi besar dengan nilai Rp. 1 triliun ke atas, perusahaan yang memberikan proyek EPC (engineering, procurement, construction) dan investasi. Meskipun nilainya tidak besar namun proyek EPC dan investasi memberikan landasan kompetensi yang kuat bagi perkembangan ADHI di masa yang akan datang, misalnya Proyek PLTU Asam-Asam di Kalimantan, dan Jakarta Monorail.

Kriteria pelanggan kakap secara detail adalah sebagai berikut:

1. Membeli produk dalam jumlah banyak.
2. Profit margin yang didapat perusahaan cukup besar
3. Melibatkan banyak orang dalam proses pembelian.
4. Membeli produk untuk keperluan beberapa unit organisasi di tempat yang berbeda
5. Mengharapkan layanan dan perhatian khusus.
6. Mensyaratkan hubungan kerja sama jangka panjang
7. Memiliki arti strategis bagi perusahaan
8. Menjadi basis pelanggan perusahaan.

Dapat dipastikan hampir seluruh perusahaan swasta besar seperti Medco bisa mencapai posisinya sekarang karena dulu berhasil mendapatkan kontrak strategis dengan perusahaan besar. Medco besar karena berhasil mendapatkan kontrak pengeboran darat dari perusahaan minyak bumi besar sekelas seperti Pertamina, Mobil Oil atau Exxon. Bahkan pada fase sebelumnya, Medco bisa menjadi perusahaan pengeboran darat karena mendapat kontrak pengelesan pipa dari Pertamina. Namun sekarang skala bisnis Medco hampir sama seperti Pertamina yang dulu memberinya proyek.

Demikian juga dengan pengalaman di perusahaan kami, MarkPlus&Co. Perjalanan MarkPlus dari perusahaan daerah lokal Surabaya menjadi perusahaan nasional tidak lepas dari kontribusi PT. Indofood Sukses Makmur yang menjadi pelanggan kakap pertama. Setelah Indofood kami lebih mudah mendapatkan pelanggan kakap lainnya seperti PT. Telkom Indonesia, Hawlet Packard Indonesia, maupun Cisco System Indonesia. Di lingkungan regional Asean pun ternyata sama, setelah kami mendapatkan pelanggan kakap dari perusahaan telekom terbesar di Malaysia, berturut-turut klien besar di tiga Negara dengan mudah kita dapatkan. Bagaimana dengan Anda?

Membangun Cool Brand


Artikel yang dimuat majalah Time pada minggu pertama November 2004 telah menggugah hati kami tentang konsep cool brands. Artikel tersebut menulis tentang bagaimana Nike bisa mendongkrak pasar Cina dalam beberapa tahun belakangan. Disitu sang penulis menjabarkan tentang merek-merek apa saja yang disebut sebagai cool brands di Cina bedasarkan survey yang dilakukan terhadap 1200 mahasiswa di Beijing dan Shanghai oleh sebuah perusahaan riset Hill & Knowlton.

Apa saja yang mereka lihat sebagai cool brands ? Ternyata merek-merek seperti Nike, Sony, Adidas, BMW, Microsoft, Coca-Cola dan IBM masih mendominasi pikiran konsumen di Cina. Yang menarik justru tidak ada satupun merek Cina yang mereka pandang sebagai cool brands.

Anda mungkin bertanya, sebenarnya cool brands itu merek yang bagaimana sih? Apakah ini artinya merek yang asyik? Merek yang asoy? Kalau mengacu pada riset yang dilakukan oleh Hill & Knowlton diatas, anak muda di Cina mendefinisikan kata “cool” sebagai sesuatu yang bersifat inovatif, penuh dengan gaya, dinamis, dan juga nyantai sekaligus gaul.

Superbrand, sebuah lembaga branding dari Inggris, menganggap cool brand sebagai suatu merek dengan identitas yang kuat dan berdiri bedasarkan sesuatu yang ideal. Untuk dipersepsikan sebagai “cool”, sebuah merek harus secara jelas mendefinisikan kepribadiannya agar dapat dikenali dan direlasikan oleh pelanggan.

Cool brands penuh dengan visi kedepan. Kadang-kadang egois, tidak peduli dengan hal yang lain. Mereka berani untuk menjadi imperfek dan tidak punya apapun untuk dibuktikan. Dan yang paling penting, cool brand mengisi kebutuhan yang selama ini tidak tersedia.

Kami di MarkPlus&Co mendefinisikan cool brands sebagai merek yang menggairahkan dan merubah hidup anda. Dua kata kunci disini adalah sensasi dan solusi. Coba anda lihat model progression of economic value dibawah ini. Secara singkat model ini menjelaskan bahwa kita harus menggeser bisnis kita dari bisnis komoditi dan bisnis barang, ke bisnis servis, kemudian ke bisnis experience, dan akhirnya bisnis transformasi.

Kalau dilihat dari model tersebut, mereka yang disebut cool brands ada pada “kawasan” bisnis experience dan bisnis transformasi. Merek terebut telah terbebas dari perangkap “komoditisasi” dan berhasil memenangkan persaingan karena secara terus menerus membuat perbedaan.

Sebenarnya apa bedanya cool brands dengan established brands (merek yang gak asyik)? Kami berani mengatakan bahwa “cool brands” adalah merek tulen yang dibuat di dunia venus sedangkan Established brands adalah merek yang kuno, kaku, dan membosankan yang dibesarkan di Bumi.

Established brands pada dasarnya mengharapkan hasil survey tradisionil yang bersifat kuantitatif dan qualitatif. Komunikasi pemasaran mereka juga dilakukan dengan cara lama yaitu bedasarkan 4P (produk, price, place, dan promotion). Pengukuran ekuitas established brands dilihat dari sisi brand awareness yang kokoh, sedangkan image dari merek tersebut dipandang dari brand association.

Hal tersebut sangatlah berbeda dengan cool brands yang menggairahkan hidup anda dengan mereknya yang penuh dengan gaya, gaul, nyantai. Merek yang bertipe seperti ini dapat mengubah hidup anda karena mereka sangat dinamis, selalu bergerak di pasar dan inovatif dengan mengeluarkan produk terobosan (product breakthrough) yang baru. Merek ini memiliki karisma (Brand Charisma), kepribadian (Brand Personality), dan imej (Brand Image) yang secara signifikan membedakan mereka dengan merek lainnya.

Cool brands mempelajari dan meneliti konsumen mereka bukan dengan cara meriset lapangan dengan daftar pertanyaan tertentu. Tetapi mereka meneliti lapangan dengan melakukan observasi dan indirect research seperti mistery shopper, dan lain-lain. Untuk mengetahui gerak gerik pelanggan, cool brands mengamati konsumen di tempat pembelian (point of purchase), komunitas, sekolah, kantor, dll.












Mencintai Pelanggan di Bulan Suci



Berbuka adalah momen yang paling dinantikan umat Muslim di bulan suci ini. Boleh dibilang titik perhatian terbesar pelanggan Muslim dalam 24 jam di hari ini ada di satu sampai setengah jam menjelang ”bedug maghrib”. Maka jangan heran jika pada jam-jam itu, layar televisi kita dipenuhi berbagai macam iklan yang datang dan pergi tanpa henti mengalahkan acara utama siraman rohani.

Sebagai seorang muslimin dan sekaligus marketer saya tidak memungkiri bahwa para marketer khususnya yang ada di bisnis fast moving consumer goods (FMCG) ingin menjaring sebanyak mungkin dengan memasang iklan yang semenarik mungkin di bulan suci. Itu sah-sah saja menurut saya, namun yang saya sayangkan ada sebuah iklan produk minuman berinisial ”E”, yang kuat dipersepsikan sebagai pengganti sarapan pagi, menggunakan adzan sebagai pembuka pesan. Bayangkan jika Anda belum pernah melihat iklan tersebut dan sedang menantikan buka puasa di jam-jam kritis—kalau di Jakarta antara 5.30 WIB sampai 5.45 WIB—bisa jadi Anda akan terjebak, menyangkanya sebagai bedug maghrib.

Secara ide, iklan itu sangat bagus, kena di hati dan biayanya rendah namun sayangnya secara eksekusi berantakan. Selain pesannya minim—hanya mencoba mengingatkan kembali nama merek di benak pelanggan, pengemasannya sangat hard-selling. Sebagai produk yang telah memiliki ekuitas merek yang tinggi, tidak seharusnya ia memakai cara komunikasi langsung seperti itu. Akan lebih baik jika mengedepankan ia memilih iklan yang menyasar sisi emosional (hati bukan otak) pelanggan, seperti iklan Blue Band versi anak kecil menumpahkan tepung roti, atau iklan Indomie versi sahur. Memang dari segi anggaran, iklan seperti ini membutuhkan biaya lebih besar. Namun jika masalahnya, kita bisa belajar dari Teh Botol Sosro—tetap hard selling, pesannya langsung ”Apapun makanannya, minumnya Teh Botol Sosro” namun konteknya yang dirubah sedikit yakni berbuka puasa. Dengan spot iklan pendek, Sosro tetap bisa menyampaikan pesan emosional sambil mengulang magic word-nya.

Mengamati iklan-iklan saat Ramadhan ini, saya jadi teringat salah satu prinsip Compassionate Marketing yang berbunyi Love your customer and respect your competitor—cintai pelanggan Anda dan hormati pesaing Anda. Bagaimana kita bisa mengharapkan pelanggan terus loyal membeli produk kita jika selama ini kita hanya menempatkan mereka sebagai objek. Bahkan dengan tega di momen-momen suci mereka, kita masih memanfaatkannya untuk ”jualan”, bukannya mencoba berempati dan mendorong mereka mencapai tujuan beribadah di bulan suci. Jika kita percaya akan esensi marketing adalah membangun hubungan jangka panjang dengan pelanggan, maka seharusnya kita mencoba mencintai pelanggan dengan berempati, kecuali jika kita hanya menganggap marketing hanya selling yang orientasinya mengejar volumen penjualan yang sifatnya sesaat. Bulan suci Ramadhan hendaknya dipakai semua merek untuk menunjukkan rasa kecintaan mereka kepada pelanggan dengan menciptakan iklan dan event yang mendukung pelanggan di segmen Muslim mencapai tujuan peribadatannya. Selamat berpuasa!

Para Pemasar adalah Penipu


Mereka semua adalah penipu. Mereka memaksa kita membeli sesuatu yang lebih mahal dari semestinya. Aku tidak percaya lagi pada mereka.

Siapakah ‘mereka’ dalam kalimat diatas? Mereka adalah para pemasar. Dalam buku karangan Seth Godin, All Marketer’s Are Liars, dikatakan bahwa para pemasar adalah penipu. Benarkah demikian? Kalau dipikir-pikir mungkin iya. Semisalnya kita membeli kopi di Starbucks. Harganya bisa berkali-kali lipat dibandingkan kita membeli kopi di pinggir jalan atau kopi bermerek di supermarket. Atau lebih nyata lagi, kebohongan para pemasar ini terlihat dari caranya menjerat kaum hawa yang untuk membeli pakaian, sepatu, dan tas bermerek yang harganya bisa mencapai jutaan rupiah, padahal modalnya hanya sekitar 30 persen dari harga yang ditawarkan.

Memang kekuatan merek menjadi andalan para pemasar untuk menjual produk lebih mahal dari semestinya. Akan tetapi, sebenarnya bukan merek yang dijual oleh para pemasar, melainkan mimpi dan keinginan para konsumen ketika membeli barang bermerek tersebut. Katakanlah ketika seorang eksekutif muda membeli pulpen bermerek Mount Blanc, padahal ia sendiri mungkin baru bekerja setahun dan jabatannya masih staff. Ia mungkin tidak membutuhkan pulpen itu untuk menulis, tetapi lebih kepada mengapresiasikan dirinya, bagaimana ia merasa lebih mapan, lebih sukses, lebih dipandang dalam pergaulan, lebih ’in control’ ketika bertemu dengan klien. Nah, kalau kejadiannya seperti ini, siapa yang menipu? Para pemasar? Atau pembeli itu sendiri?

Terkadang pembeli suka menipu diri sendiri. Bahkan mereka suka ditipu. Berbagai produk kecantikan yang dijual di pasar laris manis dibeli oleh mereka yang ingin lebih cantik, lebih pede, lebih dewasa. Pemakai sabun artis Lux terbesar bukanlah para artis, melainkan mereka yang ingin menjadi artis atau setidaknya ingin merasa seperti artis.

Lantas apakah ini berarti konsumen adalah bodoh? Tidak, mereka tidak bodoh. Justru mereka semakin pintar. Konsumen sekarang sudah semakin terinformasi, semakin memiliki banyak pilihan, mereka semakin mencari produk yang tidak saja memberikan manfaat secara fungsional, melainkan emosional.

Sehingga memberikan manfaat secara fungsional, merupakan peraturan pertama bagi pemasar yang ingin menipu konsumennya. Celaka jika manfaat fungsional tidak ada, tetapi Anda memberikan mimpi-mimpi yang berlebihan kepada konsumen. Mereka akan beli, namun kapok dan tidak akan beli lagi. Ini namanya over promise under delivery. Ketika Starbucks menjual kopi, maka biji kopinya merupakan biji kopi pilihan yang terbaik di seluruh dunia. Sabun lux juga membersihkan, memberikan kesegaran dan wangi kepada tubuh anda secara optimal.

Setelah memuaskan pembeli secara fungsional, baru kita menambah unsur emosionalnya. Ada tiga tips untuk memberikan unsur emosional pada produk atau servis Anda. Tips pertama adalah membuat perusahaan Anda dicintai oleh konsumen Anda. Caranya dengan memberikan solusi kepada konsumen Anda, membuat konsumen mudah menghubungi Anda, dan merasakan apa yang dirasakan oleh konsumen. Contohnya adalah Astraworld yang menawarkan layanan 24 jam kepada pelanggannya. Layanannya yang disediakannya astraworld benar-benar lengkap. Mulai dari membantu memilihkan kendaraan terbaik dengan harga yang cocok, mengurusi pembiayaannya, dan menyediakan bengkel dengan servis dan perawatan terbaik, sehingga Astraworld benar-benar memberikan solusi total untuk keperluan konsumen berkendara.

Tips kedua adalah menciptakan emosi positif. Contohnya celebrity fitness. Tempat kebugaran ini memutarkan lagu-lagu yang menggugah emosi para membernya serta membuat para membernya seperti layaknya seleb dengan to be seen experience-nya.

Tips terakhir yang paling penting adalah melatih karyawan Anda. Karyawan Anda haruslah orang yang nice dan smart dan memiliki passion of service dan passion of people yang tinggi. Sehingga dalam praktiknya, tidak cukup lagi merekrut atau melatih orang dari segi IQ (Intelligence Quotient)-nya saja, melainkan dari segi EQ (Emotional Quotient)-nya juga perlu diperhatikan. Bila karyawan Anda dapat memberikan servis yang baik, mau mendengarkankan konsumen, dan tidak masa bodoh dengan keluhan konsumen niscaya konsumen Anda akan semakin memiliki keterikatan secara emosional.

Jadi sudah siapkah Anda menipu konsumen Anda? Atau malah Anda yang akan ditipu oleh para pemasar?






Memprospek Pelanggan Secara Efektif



Tulisan ini saya dedikasikan untuk teman-teman yang bergerak di bidang penjualan. Pasalnya seringkali ketika bertemu mereka saya sering ditanya cara jualan yang efektif. Pertanyaaan ini sebenarnya basic namun juga tidak gampang, apalagi saya tahu bagaimana susahnya menjual di era sulit seperti sekarang—daya beli masyarakat turun sementara target penjualan dipatok sama atau bahkan dinaikkan dari target tahun sebelumnya.

Waktu adalah sumberdaya yang paling berharga bagi seorang tenaga penjual karena sekali prospek hilang di tangan maka sulit sekali menariknya kembali. Problem utamanya adalah menentukan urutan prospek yang akan dikunjungi dalam sehari. Aturannya semua orang tahu: Prospek yang paling hot didahulukan! Cuma masalahnya kriteria propek yang hot sering tidak jelas—tiap tenaga penjual mengembangkan definisinya sendiri.

Agar lebih terstruktur dan berlaku universal, marketing memberikan petunjuk cara memprospek pelanggan lewat ilmu segmentasi. Praktisnya, ilmu segmentasi itu adalah ilmu memilah atau menggolong-golongkan prospek menurut kesamaan karakter, bisa berdasarkan wilayah, gaya hidup,pendapatan, dan lain-lain. Namun saya biasanya menggunakan cara segmentasi yang paling gampang yakni berdasarkan margin, loyalitas, dan biaya.

Prospek yang paling hot dan wajib didahulukan adalah prospek yang diprediksi bakal mencetak marjin laba paling besar, paling loyal dengan biaya akuisisi paling murah. Mereka ini biasanya adalah pelanggan lama (existing customer), loyal (tidak memakai produk pesaing), tidak price sensitive, dan sangat mengedepankan kualitas—berapapun harganya asal kualitasnya sama akan dibeli.

Contohnya dalam industri alat berat. Perusahaan yang termasuk hot prospect adalah perusahaan multinasional. Ini karena perusahaan multinasional biasanya telah mempunyai standar baku peralatan berat yang akan dipakai untuk produksi. Bahkan kadang-kadang alternatif mereknya telah ditetapkan sehingga harga menjadi pertimbangan kedua.

Prospek hot kategori dua adalah prospek yang menggunakan produk dalam jumlah banyak namun meminta diskon. Perusahaan tambang nasional masuk ketegori ini. Mereka tetap ingin produktivitas tinggi namun karena anggarannya terbatas mereka menginginkan harga yang lebih rendah. Untuk menyikapinya, tenaga penjual bisa memberikan diskon namun dengan kompensasi, misalnya harganya diturunkan dengan kompersasi tingkat support service-nya dikurangi.

Prospek hot kategori tiga adalah prospek yang tidak loyal (menggunakan produk kita bersamaan dengan produk pesaing), selalu meminta diskon, dan orientasi pemakaiannya jangka pendek (sekali pakai). Kontraktor musiman barangkali masuk segmen ini karena membutuhkan alat berat hanya untuk tiga sampai enam bulan saja saat proyek dikerjakan. Hal ini karena proyek berikutnya sangat mungkin tidak berkaitan dengan proyek pertama sehingga terlalu boros jika harus menyimpan alat berat. Untuk prospek kategori ini tidak perlu ditawari alat berat baru karena pasti tidak mempunyai dana. Alternatifnya bisa ditawari alat berat bekas atau dengan sistem leasing.

Prospek yang paling tidak hot adalah prospek yang tidak mengenal nilai produk sama sekali dengan orientasi membeli sekadar coba-coba. Untuk produk yang baru diluncurkan, biasanya jumlah prospek yang nggak jelas ini dominan. Dalam kondisi ini sebagai tenaga penjual Anda harus membantu orang marketing melakukan edukasi prospek. Setelah nilai produk dipahami barulah para tenaga penjual bisa bekerja dengan irama normal.

Nah, sekarang coba Anda praktekkan konsep ini untuk produk Anda sendiri. Berdasarkan hitung-hitungan margin, tingkat loyalitas dan biaya, pilah-pilah atau golongkan prospek Anda. Siapa saja yang termasuk prospek hot kelas satu, dua, tiga, dan empat. Kemudian coba alokasikan lebih banyak waktu untuk menggarap prospek hot kelas satu lebih banyak. Selamat mencetak penjualan tertinggi!
































Calon prospek “bintang empat” ini biasanya tidak sensitif terhadap harga, tidak meminta servis yang bermacam-macam, orientasinya jangka panjang dan biaya akuisisinya murah. Sebaliknya prospek yang harus dihindari adalah prospek yang selalu minta diskon, minta diservis macam-macam, orientasinya jangka pendek (terlihat dari perilakunya yang masih menggunakan produk pesaing).

Namun jangan salah tafsir, prospek bintang empat tidak selalu identik dengan orang yang kaya dan berduit!

Contohnya, untuk Anda yang menjual kredit sepeda motor, barangkali tukang ojek, tukang bakso, petani, atau para TKI/TKW adalah prospek bintang empat karena mereka biasanya tidak terlalu memperhitungkan hitung-hitungan bunga. Yang penting secara nominal cicilan per hari atau per bulannya “masuk”, mereka biasanya akan tertarik apalagi jika Anda pintar memikat hatinya, prosesnya semakin mudah lagi.

Sebaliknya jika Anda memprospek seorang guru, prosesnya mungkin lebih susah karena dia memiliki informasi dan pengetahuan lebih banyak. Oleh karenanya mungkin Anda harus menerangkan segala macam kelebihan produk dari A sampai Z—DPnya, suku bunganya (pakai sistem flat atau floating), jangka waktu administrasinya, dan lain sebaginya. Akibatnya Anda akan ditekan untuk menurunkan harga, menambah servis dan lain sebagainya.

Kalau sudah begini bagaimana?

Tentu saja Anda harus pintar berkelit. Bekalnya adalah pengetahuan produk Anda dan produk pesaing. Terangkan diferensiasi produk Anda dan bandingkan secara jujur dengan produk pesaing. Mungkin ada beberapa aspek produk pesaing yang lebih unggul, katakan saja secara jujur hal ini. Bahkan kalau perlu persilahkan dia memilih produk pesaing. Justru dengan begini, prospek akan menilai Anda fair dan




MATRIX MARKETING


Selamat datang hypermarket di Batam ! Kata itu yang pertama kali saya ucapkan ketika salah seorang rekan saya yang sudah lama tinggal di Batam bercerita bahwa sebuah grup bisnis supermarket nasional telah membuka “cabangnya’ di sana. Hal ini sangatlah wajar karena Batam memang sebuah pasar yang menggiurkan untuk direbut apalagi jika melihat pertumbuhan tingkat ekonomi dan perdagangannya yang semakin pesat.

Saya yakin Anda pasti telah datang ke hypermarket baru itu. Coba amati apakah ada sesuatu yang berbeda? Jika Anda mempunyai insting bisnis yang kuat Anda akan segera tahu bahwa barang-barang di Hypermarket itu disusun berdasarkan kategori, hampir semua merek diletakkan dalam satu batch yang sama misalnya kosmetik, sabun cair, mie instan dan lain sebagainya. Hanya satu atau dua produk saja yang dipasang mencolok, mungkin di pintu masuk, di depan jejeran batch atau di bawah spanduk besar dengan tulisan Best Buy atau Best Price !.

Itu dari segi produk, lalu bagaimana dari segi perilaku konsumen. Ada sebuah survei yang mengatakan bahwa sebagian besar orang yang pergi berbelanja ke hypermarket dan superstore membeli lebih banyak dari yang direncanakan dan melenceng dari kategori, merek, atau produk yang diinginkan. Sepertinya saat orang masuk ke superstore atau hypermarket ingatan mereka tentang daftar belanja menjadi hilang (brainwash). Hal itu karena produk yang dipajang di sana terlalu banyak, mungkin jumlahnya ratusan dalam kategori produk dan ribuan dalam kategori merek. Masuk akal sekali bukan?

Dengan kondisi demikian. efeknya adalah pelanggan menjadi sangat bingung untuk memilih. Terlebih jika terlalu banyak produk yang didiskon, maka musnahlah semua merek top of mind dalam dunia marketing reguler-dunia yang dibentuk dari marketing campaign khususnya iklan, berganti dengan top of mind dunia Carrefour, dunia Giant, dunia Hypermart, atau dunia Makro - yang terbentuk dari instore campaign - banner, spanduk, iklan, pamflet, leaflet, kupon discount, rayuan salesman/girl, free gift dan lain sebagainya.Bagi marketer, hal ini sangat berbahaya karena membuyarkan semua ingatan pelanggan yang sudah susah susah dibangun dengan investasi yang besar di iklan dan promosi.

Mengapa hypermarket dan superstore dapat men-drive pelanggan sekuat itu? Jawabannya hanya satu, karena hypermarket dan superstore telah menciptakan shopping experience jenis baru dengan mengintegrasikan promosidan distribusi dalam satu tempat. Di sana ada product display sekaligus discount besar. Di sana toko dan gudang sekaligus tempat promotion girl bertarung merayu pelanggan. Inilah yang membuat mereka menjadi sangat efisien dalam biaya dan sangat efektif dalam mempengaruhi perilaku pembelian.

Kalo sudah begini, marketing mix biasa (4P-Product, Price, Promotion, Place ) pasti akan ‘bubar’ alias tidak efektif lagi untuk diterapkan pada channel yang seinovatif hypermarket dan superstore apalagi jika semakin hari sang channel mulai menekan kita untuk menambah discount harga agar mereka dapat menjual produk kita lebih murah maka akan semakin susah Anda sebagai marketer.

Harus ada sebuah pendekatan marketing khusus untuk hypermarket dan superstore karena rule of the game-nya sudah pasti berubah. Inilah yang coba diterangkan oleh Judith Corstjens dan Marcel Corstjens dalam bukunya Store War. Mereka mengatakan bahwa sekarang memenangkan mind-share pelanggan melalui iklan dan program promosi lainnya tidak akan telalu banyak mempengaruhi keputusan membeli pelanggan di hypermarket dan superstore jika tidak didukung dengan kemampuan memenangkan self space di toko.

Hal ini karena pelanggan yang masuk hypermarket akan lebih memilih produk yang lebih dekat, mudah diambil dan eye catching, daripada produk yang ada di deretan paling belakang, susah diambil dan tidak terlihat. Apalagi jika atmosfer hypermarket sengaja didesain untuk mengarahkan pelanggan menuju jejeran batch tertentu - dengan daya tarik discount sebuah produk tertentu, internal campaign yang meriah, atau layout ruangannya.

Pendekatan mereka disebut dengan matrix marketing, yang merupakan gabungan antara consumer marketing- untuk memenangkan mindshare dan trade marketing - untuk memenangkan shelf space di toko.

Trade marketing adalah cara dan seni untuk memenangkan shelf space dengan cara memahami channel category, memanfaatkannya dan memberikan value pada distributor (hypermarket) sehingga produk kita selalu mendapat shelf space yang bagus karena penjualan produk kita berkontribusi terhadap total pendapatan retailer. Trade marketing tidak sama dengan channel marketing karena trade marketing membutuhkan pemahaman mengenai category management di mana perusahaan berusaha untuk mengkategorikan merek-merek produknya sehingga retailer (seperti hypermarket dan superstore) mudah mengelompokkan dan meletakkannya dalam satu tempat (shelf).

Antara consumer marketing dan trade marketing harus tercipta sebuah harmonisasi sehingga antara top of mind dan shelfspace dapat saling menunjang. Pelanggan mengingat produk kita dan juga mudah mendapatkannya karena letaknya yang strategis, mudah dilihat, mudah diambil dan eye catching. Selamat berkompetisi dalam lanskap bisnis retail yang baru!!!

.

Estetika Sebagai Sumber Diferensiasi

Jangan anggap remeh estetika. Dulu, ketika jumlah merek di pasar masih bisa dihitung dengan jari memang estetika mungkin tak punya arti apa-apa di mata konsumen. Konsumen tak peduli dengan bentuk produk yang unik, interior outlet yang lain dari yang lain, pilihan warna kemasan yang different, atau tipologi huruf logo yang artistik, misalnya. Tapi kini, ketika benak kita tiap hari terus dijejali dengan jutaan informasi dari koran, majalah, TV, radio, hingga terakhir Internet. Dan ketika benak kita telah overload oleh beragam informasi tersebut. Baru kemudian estetika mulai dirasakan arti pentingnya oleh para brand strategist sebagai point of differentiation yang tak kalah dibanding dibandingkan dengan katakan point of differentiation melalui keunggulan dalam kualitas atau layanan.

Ambil contoh gampang, Nike. Kenapa Nike begitu dicintai oleh para pemakai sepatu di seluruh dunia. Betul sekali, karena Nike memiliki kualitas nomor satu. Juga betul, karena Nike sangat inovatif dan selalu menggunakan teknologi tercanggih. Tapi perlu diingat bahwa Adidas ataupun Reebok juga memiliki kualitas nomor satu. Dua musuh bebuyutan Nike ini juga sarat dengan inovasi dan teknologi tinggi. Lalu apa bedanya. Saya kira, the real point of differentiation Nike dari Rebook ataupun Adidas justru terletak pada aspek pengalaman estetika.

Saya melihat Nike lebih dicintai para pemakai sepatu sport di seluruh dunia lebih karena Nike lebih unggul dalam memberikan emotional benefit berupa pengalaman estetika kepada setiap konsumennya. Itu memang betul. Melalui simbol-simbol estetik—disain sepatu yang artistik, logo “swoosh” kebanggaannya yang simple, shopping experience melalui Nike Town, dan masih banyak lagi—Nike menggiring konsumennya memasuki “dunia Nike” yang kemudian menjadi basis baginya untuk membangun loyalitas di kalangan konsumennya.

Saya kira ada tiga alasan kenapa estetika penting dalam marketing. Pertama, karena estetika dapat membuka jalan bagi terbangunnya loyalitas konsumen seperti yang dilakukan Nike di atas. Kedua, estetika bisa menjadi alasan bagi perusahaan untuk menetapkan premium pricing. “When your company or product provides specific experiences that customers can see, hear, touch, and feel, you are adding value and you can price that value,” kata Bernd Schmitt, seorang brand strategist penulis buku Marketing Aesthetics. Itu sebabnya Nike sukses mematok sekitar $150 untuk sepasang sepatunya atau Starbucks Coffee sukses menjual secangkir iced coffee-nya dengan harga cukup tinggi $3-$5. Ketiga, estetika juga menjadi differentiator yang semakin penting di tengah persaingan merek yang kian ketat.

Jangan dikira bahwa aesthetic strategy ini hanya dijalankan oleh merek-merek yang memang sensitif dengan estetika seperti merek-merek fashion, hotel dan restauran, atau merek-merek consumer good. Aesthetic strategy ini juga intens dijalankan oleh merek-merek industrial good atau merek-merek teknologi tinggi. Lucent Technologies, salah satu Baby Bell pecahan AT&T, adalah contoh klasik dari perusahaan yang mampu tampil beda dari perusahaan sejenis melalui kekuatan estetika baik nama, logo, maupun identitas visual merek secara umum. Merek-merek teknologi tinggi umumnya menggunakan suku-suku kata “tel”, “tech”, “sys”, atau “net”, dan logo-logo yang membawa imej hitech. Lucent beda. Perusahaan ini justru keluar “aturan baku” tersebut sebagai upaya perusahaan ini untuk mendferensiasi diri dari pesaing.

Di Indonesia, beberapa merek memang sudah menerapkan aesthetic strategy ini. Tampilan kemasan Mizone yang berwarna biru cukup menarik hati dan menjadi point of differentiation yang kuat dan membantu menciptakan identitas Mizone sebagai minuman baru dalam ketegori baru yakni minuman berenergi dalam botol plastik. Demikian juga dengan Eguil dan Avian—merk air mineral—kemasannya sangat menarik dan berbeda dengan yang lain. Equil menggunakan botol kaca eksklusif sementara Avian menggunakan botok plastik dengan bentuk menyerupai buah labu. Karena inovatifnya, saya kira belum ada satu kemasan produk air mineral yang seindah Avian.

Namun saya kira Mizone, Equil dan Avian adalah kasus khusus, karena hampir semua merek di Indonesia cenderung tak peduli dengan kekuatan estetika ini. Mereka umumnya belum sadar bahwa estetika sesungguhnya bisa menjadi point of differentiation dan alat ampuh untuk bersaing. Bagaimana dengan Anda?

JUST DO IT



Ketika sebuah bisnis gagal menghasilkan kinerja terbaiknya, paling sering orang akan menyalahkan strategi sebagai biang keroknya. Padahal justru yang sering terjadi adalah sebaliknya di mana strategi yang telah disusun rapi; visi, misi dan tujuan, gagal pada saat dieksekusi. Dalam sebuah artikel yang berjudul “Why the CEO’s Fail” yang dimuat di Fortune Megazine tahun 1999, dikatakan bahwa sebab utama kegagalan leader adalah kesalahan eksekusi (the lack of execution).

Hal serupa juga ditemukan Jim Collin dalam bukunya Good-to-Great. Berdasarkan hasil risetnya disimpulkan bahwa perusahaan yang bisa merubah dirinya dari good company menjadi great company sebenarnya tidak terlalu memiliki strategi yang spesial dibanding perusahaan pembanding (comparison companies). Sebaliknya eksekusi sangat berperan besar dalam tiga area yaitu discipline of people, discipline of thought and discipline of action. Strategy per se did not separate the good-to-great companies from the comparison companies. (Jim Collins).

Bahkan dalam dunia perbankan dikatakan bahwa peranan strategi itu hanya sebesar 20% sedangkan bagian terbesarnya yaitu 80% ditentukan oleh ketepatan eksekusi. Jika demikian, apakah strategi menjadi tidak penting lagi?

Tentunya tidak se-ektrim itu. Para penganjur eksekusi merasa bahwa terlalu banyak guru manajemen yang menyoroti strategi, leadership dan innovasi. Padahal apabila Anda membutuhkan strategi Anda tinggal memanggil jasa konsultan untuk merancangnya. Jika Anda butuh konsep kepemimpinan, maka segudang buku leadership sudah beredar di pasaran. Begitu juga dengan inovasi. Sebaliknya eksekusi nyaris menjadi lahan yang tidak tersentuh padahal menurut The National Association of Corporate Directors, eksekusi adalah salah satu poin yang harus menjadi fokus untuk evaluasi kinerja CEO. Mengapa demikian?

Karena eksekusi tidak pernah dianggap atau diajarkan sebagai disiplin ilmu. Kedua, eksekusi tidak seksi karena dianggap masalah yang biasa didelegasikan oleh pemimpin kepada orang lain. Namun justru di sinilah uniknya. Untuk bisa melakukan eksekusi dengan tepat seseorang harus melakukan praktek langsung. Kesalahan dan belajar dari kesalahan adalah dinamika belajar eksekusi. Learning by doing adalah guru yang paling ampuh menghasilkan leader yang matang dalam eksekusi.

Simon Jonathan, pengembang Extra Joss pernah mengatakan kepada saya bahwa biaya keberhasilan Extra Joss mahal, karena dibiayai dari beberapa kesalahan yang pernah dia lakukan di masa sebelumnya. Bagi Simon, strategi dan eksekusi perannya 50/50. Tak ada strategi orang gak dapat eksekusi sebaliknya ada strategi yang bagus sekali namun jika orangnya tidak berani mengambil resiko untuk eksekusi hasilnya sama saja nol besar.

Kalo strategi titik poinnya adalah “kemana perusahaan akan dibawa (where) baru memikirkan sumberdayanya maka eksekusi adalah kebalikannya Eksekusi titik poinnya pada “apa yang kita miliki (what) baru menuju ke mana perusahaan akan dijalankan (where).

Pemimpin yang mempunyai pendekatan eksekusi akan menggunakan gambaran langsung dan detil tentang apa yang diinginkannya dan bagaimana mencapainya. Contohnya Jeff Immelt CEO GE ia langsung menggunakan pernyataan yang membumi untuk inisasi perubahan. Ia meminta pekerjanya menggunakan teknologi untuk memperbaiki differensiasi, memerintahkan harga yang lebih baik, margin dan peningkatan pendapatan. Jeff Immelt melakukan perubahan yang berbasis eksekusi–langsung ke tujuan. Dengan mengatakan straigh forward dan jelas, orang dapat membayangkan dan mendiskusikan hal spesifik yang perlu mereka lakukan untuk mencapai target yang dia ucapkan.

Bagaimana cara belajar melakukan eksekusi?. Dalam prinsip Marketing in Venus (MiV) ada sebuah prinsip ”be intuitive not intrepretative” yang intinya adalah mendorong orang untuk mengembangkan kemampuan intuisi untuk mengambil keputusan setelah berhasil membaca data pasar. Menurut kami, data pasar tidak lebih dari guiding map untuk menuju sasaran, sehingga harus didukung dengan pertimbangan wisdom dari pemimpin. Semakin tinggi wisdom seseorang maka akan semakin kuat intuisinya dalam membaca peluang dan perkembangan pasar. Kata Joseph Pine dan James Gilmore dalam bukunya The Experience Economy dikatakan bahwa wisdom adalah tingkatan tertinggi dari hirarki pengetahuan, sedangkan data pasar hanya sampai pada hirarki informasi. Oleh karena itu interpretasikan data dan buatkan keputusan dengan intuisi yang berbasis wisdom yang kuat.

Budaya organisasi juga harus didesain sehingga mendorong individu untuk berani mengambil keputusan eksekusi sehingga bukan hanya leader saja yang melakukan eksekusi. Caranya adalah dengan menghubungkan sistem reward dengan performance. Pemimpin juga harus menjadi role model untuk mendorong pengikut berani mengambil langkah-langkah eksekusi, persis seperti yang diungkapkan kata bijak Dick Brown:

You change the culture of a company by changing the behavior of its leaders. You measure the change in culture by measuring the change in personal behavior of its leaders and performance of the business.”

Terakhir sebagai modal yang dari semuanya, perusahaan harus memiliki right man on the right place. Ini adalah ujung tombak eksekusi dimana permulaannya selalu diawali dengan melihat sumberdaya (what) yang salah satunya adalah manusia. Jim Collin mengatakan bahwa perusahaan yang bisa good-to-great salah satu cirinya adalah fokus untuk mendapatkan dulu orang-orang terbaiknya, baru menetukan kemana bis (perusahaan) diarahkan. ”They first got the right people on the right bus (and wrong people off the bus) and then figured our where to drive it.”

Memasarkan Lewat Jalur Komunitas Pelanggan

Dalam buku Metrosexual in Venus MarkPlus mengatakan bahwa komunitas pelanggan (customer community) merupakan media yang ampuh untuk memasarkan produk. Walaupun dalam buku tersebut kami mengatakan bahwa hal tersebut dilakukan secara spesifik untuk pasar metroseksual yang memang kini tumbuh begitu pesat di seluruh dunia, namun sesungguhnya pemasaran melalui komunitas pelanggan tersebut berlaku untuk semua industri dan pasar, mulai dari makanan hingga bank, dari penerbangan hingga film.

Saya melihat pemasaran melalui komunitas pelanggan menjadi semakin krusial karena secara emosional pelanggan semakin suka berinteraksi satu sama lain dan membentuk komunitas. Customer base Anda akan kokoh jika merek Anda bisa menjadi wahana untuk bertemu dengan orang lain, membangun relationship, dan menemukan orang-orang yang memiliki satu minat di mana mereka bisa saling berinteraksi. Merek Anda akan sangat ampuh jika Anda mampu mengakomodasi pelanggan untuk membangun komunitas, dan memungkinkan setiap anggota komunitas tersebut berinteraksi satu sama lain.

Saya punya beberapa alasan mendasar kenapa pemasaran melalui komunitas pelanggan ini semakin penting. Karena pemasaran melalui komunitas tak hanya menghasilkan pelanggan loyal customer, tapi juga advocator customer. Pelanggan jenis ini selalu mati-matian membela merek dan produk Anda. Mereka selalu menjadi juru bicara dan “papan iklan berjalan” yang baik bagi merek Anda. Mereka akan marah kalau mendengar orang lain menjelek-jelekkan merek Anda. Itulah yang terjadi pada beberapa komunitas pelanggan seperti komunitas Harley-Davidson, komunitas multi-level marketing, komunitas Machintos-nya Apple Computer, komunitas Linux, dan lain-lain.

Karena jenis pelanggan yang Anda hasilkan adalah advocator customer maka mereka akan cenderung menjadi salesman Anda yang sangat fanatik. Mereka akan cerita ke orang lain dan merekomendasikan merek dan produk Anda. Kita tahu rekomendasi pelanggan atau customer referral adalah alat promosi dan jualan yang sangat efektif dan ampuh mempengaruhi pelanggan prospek. Dan harus diingat, cara ini sangat murah karena Anda tak perlu mengeluarkan anggaran jutaan bahkan miliaran rupiah untuk iklan di koran dan televisi.

Kalau diferensiasi adalah faktor kunci untuk memenangkan persaingan, saya berani bilang, diferensiasi merek mestinya tak hanya dilakukan melalui kualitas produk yang oke, layanan yang excellent, atau teknologi yang canggih, tapi juga melalui bagaimana Anda membangun komunitas pelanggan dan bagaimana Anda menghubungkan dan menginteraksikan satu pelanggan dengan pelanggan lain di dalam komunitas tersebut.

Kenapa, misalnya, Amazon.com lebih unggul dari barnesandnoble.com dan borders.com, terletak pada orientasi Amazon.com dalam melihat pelanggannya sebagai sebuah komunitas. Sejak berdiri tahun 1995 Amazon.com merancang situsnya sebagai komunitas pecinta buku, bukannya para pembeli buku secara individual. Mereka adalah keluarga besar Amazon.com dengan minat dan keinginan yang sama, yaitu kecintaan pada buku.

Bagaimana Amazon.com membangun dan mengembangkan komunitas ini? Caranya adalah memfasilitasi dan mendorong anggota untuk saling berinteraksi dan memberikan layanan pelanggan yang melibatkan secara penuh para anggota komunitas. Para anggota komunitas Amazon.com ini dapat memilih buku yang mereka inginkan secara mudah, mendiskusikan buku-buku yang baru terbit dengan menulis meresensi dan memberikan rating, mendapatkan rekomendasi buku-buku lain yang dibaca oleh para peminat buku sejenis di dalam komunitas. Diferensiasi berbasis komunitas inilah sesungguhnya diferensiasi utama Amazon.com yang memungkinkannya unggul dari dua pesaing terdekatnya.

Lalu bagaimana kita memasarkan melalui komunitas? Harus diakui, memasarkan merek di dalam sebuah komunitas bukanlah pekerjaan gampang. Pendekatannya memang agak lain dari pendekatan konvensional. Anda sudah tak bisa lagi menggunakan paradigma produsen-konsumen dalam memasarkan merek Anda. Kenapa? Karena lingkungan di dalam komunitas bersifat egaliter dan peer to peer. Seperti tercermin dalam model bisnis eBay, orang-orang di dalam komunitas adalah produsen sekaligus konsumen, mereka pembeli sekaligus penjual.

Karena itu Anda harus smart! Posisikan merek Anda sebagai “anggota” komunitas, bukan sebagai produsen. Sebagai anggota komunitas Anda harus melakukan hal-hal penting berikut ini. Pertama, dorong interaksi dan komunikasi yang intensif antar sesama anggota komunitas dan lakukan lakukanlah soft-selling, bukan hard-selling dalam jualan produk. Kedua, jalankan fungsi fasilitasi, Anda harus menjadi fasilitator yang baik bagi komunitas dan kalau Anda sudah menjadi fasilitator yang baik, bangunlah “sense of community” ke seluruh anggota. Ketiga, saling perkenalkan antar anggota dengan satu minat (common interests) tertentu, dan dorong para anggota memberikan kontribusi kepada komunitas dan membantu anggota lain. Dan yang terakhir, ciptakan identitas, atau kalau mungkin, budaya komunitas.

Satu hal yang terpenting dari segalanya adalah Anda harus menjaga kredibilitas dan trust.
Memang tidak mungkin kita membangun komunitas tanpa kepentingan. Pelanggan pun pasti paham dengan maksud kita, hanya saja maksud itu jangan terlalu dominan dan ’kentara’ tapi lakukan dengan halus, pilihlah soft selling daripada hard selling karena ingat tujuan menciptakan komunitas lebih kepada membangun relationship bukan selling. Ingat Bumi telah menjadi Venus di mana pelanggan sekarang menjadi pelanggan yang bukan hanya semakin sensitif tapi juga pintar membedakan apakah servis yang kita berikan tulus atau akan-akalan. Kalo hard-selling-nya terlalu dominan sampai pelanggan tahu ’hidden agenda’ kita, bisa-bisa malah kita yang ’dibujuki’. Pelanggan pura-pura mengikuti komunitas kita, memanfaatkan insentif dan emotional benefit yang kita berikan tapi tidak mau jadi referral bagi produk dan perusahaan Anda.

Memakai Endorser Tokoh Politik?

Ada artikel menarik di Kompas Minggu, 11 November 07 yang lalu, disitu dibahas tentang kontroversi iklan Louis Vuitton yang dibintangi Michael Gorbachev. Tidak seperti iklan Louis Vuitton mengusung tokoh politik, biasanya iklan produk supermewah itu mengusung artis Hollywood dan supermodel dunia sekelas Chaterine Denueve, Keren Elson atau Scarlett Johansson. Terlepas dari kontroversi yang ditimbulkannya, iklan yang diluar pakem itu telah meruntuhkan anggapan bahwa tokoh politik adalah role model yang pantang ditampilkan dalam iklan produk.
Selama ini produk-produk hanya memakai sebagai PR model bukan Advertising Model, itu pun tanpa sengaja. Chanel bisa bangkit dari keterpurukan di tahun 19960-an ketika publik melihat Ratu Elizabeth dari Inggris memakai baju rancangan Chanel ke sebuah jamuan. Kemudian istri Presiden Kennedy “Jacky” juga terlihat memakai Chanel dalam sebuah acara resmi. Jadilah brand Chanel booming dan orang yang ingin terhormat seperti dua “ibu negara” itu berbondong-bondong memborong baju kerja Chanel yang terkenal beraliran simple itu.
Ada beberapa anggapan mengapa para marketer tidak berani memakai tokoh politik sebagai model. Pertama, alasan sustainability. Kita tahu peta politik selalu bergerak cepat, hari ini seseorang berkuasa namun belum tentu esok hari. Taksin Shinawatra contohnya adalah tokoh yang sempurna untuk dijadikan model: ganteng, kaya, berpendidikan, dicintai rakyat, dan yang lebih penting berkuasa. Produk apapun akan cocok dipakai Mr.Nice Guy ini, terlebih brand mewah. Demikian juga presiden Clinton yang sangat tampang dan gagah, dan terakhir bapak kebanggaan kita Mr. Susilo Bambang Yudhoyono yang tidak kalah ganteng dan gagahnya dengan contoh dua bapak bangsa tersebut. Saya yakin jika Pak SBY mengendorse sebuah brand, awareness brand itu akan melambung tinggi. Satu-satunya halangan hanyalah ketidakpastian politik. Branding memerlukan long term stabilization sedangkan politik tidak bisa menjamin itu.
Bagaimana jika Anda sudah keluar uang milyaran untuk iklan tiba-tiba tokoh politik yang Anda iklannya itu terganjal masalah atau dikudeta. Pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK sekarang ini sedikit menakutkan karena siapapun bisa masuk ke daftar KPK. Meski belum tentu terbukti jika endorser brand Anda “masuk” daftar KPK maka musnahlah sudah investasi yang ditanamkan. Bukankah marketing adalah perception business?
Kedua, alasan sentimen politik. Brand bisanya memilih sebuah karakter yang everlasting dan cenderung “netral” misalnya Harley Davidson: rebellious, Dove: confident, Honda: stylist, Yamaha: performance, Cosmopolitan: fun fearless female, Virgin: fun. Coba bayangkan jika Honda dipersepsikan motornya Pak SBY, Yamaha motornya Mbak Mega PDI atau Suzuki motornya Pak Sutiyoso karena masing-masing memakai ketiga calon presiden 2009 itu sebagai endorser? Kalau menang Pemilu barangkali menguntungkan namun jika kalah maka brand equity justru akan terdilusi, dan brand image yang dibangun susah-susah akan hancur.
Ketiga, kesetiaan partisipan. Syarat seseorang layak dijadikan endorser adalah ia mempunyai basis massa atau fans yang cukup banyak dan loyal. Tokoh politik mempunyai jumlah massa yang sangat besar namun apakah mereka cukup loyal? Terlebih lagi dalam sistem multipartai di Indonesia, kalau di Amerika Serikat enak hanya ada dua partai Republik dan Demokrat sehingga tidak terjadi migrasi loyalist yang terlalu menyebar. Jadi ingin menyasar segmen Demokrat, marketer tinggal memilih Hillary Clinton atau Barract Obama sebagai endorser dengan peluang 50-50 untuk menang.
Keempat, kesamaan positioning. Barangkali sekarang kita susah bicara mengenai point of differentiation dari pada tokoh politik negeri ini. Semua menghela nafas jika bicara hal ini. Yang jelas kelihatan diferensiasinya adalah tokoh-tokoh radikal seperti Amien Rais atau almarhum Munir. Namun bagi perusahaan rasanya terlalu berisiko untuk memposisikan sebuah brand sebagai rebellious kalau tidak yakin bahwa secara diferensiasi produk mampu menyokong janji itu. Meski demikian masalah utamanya lebih pada positioning tokoh politik yang cenderung “blur”.
Sebentar lagi Pemilu 2009, semuanya tokoh sudah ancang-ancang dengan politik pencitraannya, siapa tahu Anda ingin “memanfaatkan” mereka dan bersimbiosis mutualisma? Memang tulisan saya ini sedikit pesimis tapi itulah fungsi saya sebagai konsultan memberikan “warning”, tugas Anda sebagai entrepreneur adalah mengubah warning saya ini menjadi pedoman untuk mengendus opportunity yang oleh orang China disebut Wei Jie—dibalik bahaya selalu ada peluang yang terpendam.

Jumat, 09 November 2007

Culture Marketing



Delapan puluh persen orang Jepang adalah peminum kopi..

Starbuks Jepang memiliki lebih dari 300 gerai dan terus bertambah rata-rata seratus gerai setiap tahun.

Bagi saya ini adalah fenomena marketing yang luar biasa karena jika menilik sejarah pasar kopi di Jepang baru terbentuk sekitar tahun 1970-an. Kopi hanya disajikan di hotel-hotel berbintang dan tidak menjadi bagian konsumsi sehari-hari masyarakat Jepang. Buktinya di era itu Nestle dengan Nescafe-nya gagal total masuk pasar Jepang. Pertanyaannya, kok bisa masyarakat yang dulunya tidak mengenal budaya minum kopi menjadi masyarakat yang maniak minum kopi, nomer tiga di dunia?

Saya beritahu rahasia. Starbuks sebenarnya hanya mereguk hasil dari usaha yang dilakukan Nestle. Gerai Starbuks pertama kali dibuka pada tahun 1996, sementara Nestle telah merintis kemunculan ”generasi kopi Jepang” satu dekade sebelumnya dengan menciptakan sejenis makanan pencuci mulut untuk anak-anak (dessert) yang bercita rasa kopi namun tidak mengandung kafein.


Cara ini diambil setelah Nestle gagal menyakinkan masyarakat untuk merubah kebiasaan dari minum teh menjadi minum kopi melalui kampanye pemasaran biasa. Dalam bukunya the Culture Code, Clotaire Rapaille (2006) menjelaskan kegagalan Nestle saat itu disebabkan dalam budaya Jepang, kopi tidak dikenal. Istilah dia, tidak ada imprint di benak masyarakat Jepang—tidak ada pengalaman maupun emosi yang merekatnya diri mereka dengan kopi.

Oleh karena itu Nestle merubah total strateginya dengan melakukan investasi besar-besaran dengan memperkenalkan makanan hidangan pencuci mulut (dessert) beraroma kopi itu. Tujuannya supaya tercipta imprint tentang kopi di benak generasi muda Jepang di dataran bawah sadar (unconscious mind). Saat imprint menories ini telah melekat, maka dengan mudah Nestle dapat menstimulus kemunculan kebutuhannya melalui komunikasi above the line dan below the line.


Dari kisah ini pelajarannya apa?

Tidak mungkin sebuah produk baru yang sebelumnya tidak dikenal masyarakat bisa langsung sukses terjual tanpa disertai upaya perkenalan. Starbuks begitu dibuka di Jepang langsung sukses karena telah adanya imprint memories yang telah dirintis Nestle sebelumnya. Jika Anda memasarkan produk yang benar-benar baru maka langkah pertama yang harus Anda ambil adalah menemukan emotional attachment yang pas dengan budaya masyarakat setempat.

Kenapa pasar butter di Indonesia belum besar? Jawabnya karena masyarakat Indonesia tidak memiliki tradisi makan roti dengan butter. Masyarakat kita lebih suka makan roti memakai margarin dicampur selai. Tantangan bagi para marketer butter dan sejenisnya adalah merancang sebuah kegiatan yang dapat membentuk imprint memories secara cepat. Misalnya dengan mensponsori makan roti dengan butter di kedai roti terkenal tempat anak muda nongkrong atau bahkan memperkenalkan budaya makan roti dengan butter di sekolah taman kanak-kanak.


Sementara jika produk Anda telah mempunyai imprint memories-nya yang kuat, maka tantangan Anda adalah menemukan tema iklan yang paling efektif menstimulus ingatan bawah sadar pelanggan.

Sekarang ini telah banyak iklan yang bertujuan menstimulus imprint memories ini antara lain iklan Sampoerna Hijau, sabuk krim Ekonomi, dan Pond. Sampoerna Hijau mengangkat tema kumpul-kumpul dan rame-rame. Sementara sabun krim Ekonomi lebih suka mengangkat tema hubungan batin antara anak dengan ibunya. Sedangkan Pond memilih tema pacaran. Sejauh mana ketiga iklan tersebut berhasil menciptakan emotional attachment saya serahkan penilaiannya kepada Anda. Namun yang jelas belum banyak iklan yang saya lihat mampu menstimulus imprint memories ini, kebanyakan hanya mengusung tema-tema visual sehari-hari yang mengarah ke life style yang belum tentu menyentuh hati apalagi sampai bisa membangkitkan memori masa lalu.



Rabu, 07 November 2007

Power Pricer


Beberapa bulan yang lalu, kantor saya kedatangan teman konsultan pricing bernama Herman Simon, penulis buku Power Pricing. Dalam diskusi yang seru, dia mengatakan bahwa pricing adalah senjata yang paling ampuh untuk menaikkan laba dengan cepat karena upaya efisiensi selalu ada batasnya. Dan pelaku bisnis yang bisa menjadikan pricing sebagai senjata untuk mengalahkan musuh disebut dengan power pricer.

Saya sendiri sejak awal menyakini bahwa pricing harus dipikirkan matang-matang, meskipun dalam model saya Sembilan Elemen Pemasaran pricing hanya masuk di area taktikal. Mengapa? Karena pricing sangat menentukan “positioning” produk sehingga kalau tidak hati-hati bisa mendilusi brand image. Sehingga pantas jika kemudian Toyota mematok harga Rush lebih mahal daripada Terios meskipun secara fungsional produk sama.

Seorang pemasar oli nasional juga pernah bercerita setelah dia menaikkan harga produknya dari harga di bawah 20 ribu menjadi diatas 20 ribu per 1 liter, jumlah penjualan justru naik. Setelah diselidiki ternyata orang awam mempersepsikan oli dengan harga dibawah 20 ribu per 1 liter adalah oli berkualitas rendah. Kenaikan ini tentunya disertai dengan penataan brand sehingga pelanggan tetap menemukan alasan yang logis di benaknya mengapa harga produk yang dulunya dibawah 20 ribu menjadi diatas 20 ribu.

Namun tidak selamanya strategi menaikkan harga berhasil, karena susahnya mencari alasan yang logis. Oleh karenanya, banyak pemasar yang mengambil strategi harga tinggi pada saat peluncuran produk, apalagi jika mempunyai modal brand equity yang tinggi. Langkah inilah yang dilakukan oleh Vios dan tidak dilakukan oleh City. Namun sayangnya Vios tidak belajar dari sejarah bahwa tidak ada sebuah brand sedan pun yang tidak terdilusi brand image-nya setelah dipakai armada taksi. Ketika brand imaga turun maka emotional benefit yang dirasakan pelanggan juga turun, sehingga pantas jika harga produk akhirnya juga diturunkan.

Selain itu, komposisi portfolio produk yang dimiliki dan segmen yang dibidik juga turut menjadi pertimbangan—apakah produk akan ditujukan untuk segmen Snop, Smart ataukah Dumb. Snop adalah segmen atas yang menomersatukan manfaat ketimbang harga, Dumb adalah segmen yang mengedepankan harga, sedangkan Smart adalah segmen pasar yang menghitung betul keseimbangan kedua.


Nah, masalahnya dalam era informasi di mana setiap orang bisa membandingkan spesifikasi produk dengan mudah, belum lagi diperparah dengan adanya peran anggota komunitas yang memberikan nasehat pilihan yang cerdas kepada anggotanya, menyebabkan segmen Smart akan membesar sedangkan segmen Dumb dan Snop akan mengecil. Efeknya adalah manfaat fungsional produk akan semakin transparan, sebagai diilustrasikan dalam percakapan antara dua teman yang hendak memilih antara Rush dengan Terios di artikel sebelumnya.

Dan akhirnya setiap penetapan harga harus mempertimbangkan tingkat value creation yang dihasilkan pada perusahaan—berapa kenaikan dan penurunan volume yang terjadi akibat diubahnya harga produk. PT Krama Yudha Tiga Berlian Motor (KTB) mengapa nekad mematok harga Mitsubishi Maven lebih tinggi dibanding Suzuki APV? Karena kendaraan berjenis non komersial ini hanya menyumbangkan 20% dari pendapatan, sehingga meskipun harganya diturunkan kenaikkan pendapatan secara total bagi KTB tidak akan besar. Sebaliknya untuk kendaraan komersial, dari mulai truk kecil sampai truk besar, KTB mematok harga yang bersaing karena volume penjualan yang dihasilkan dari setiap unit penurunan harga sangat signifikan. .

Pelajarannya adalah untuk menuju Power Pricer, penetapan harga harus memperhitungkan elemen marketing yang lain, jangan hanya melihat penetapan harga sebagai kerja taktikal semata. Power Pricer!