Pertama, ketersediaan SDM. Jika berbicara mengenai creative economy maka unsur paling penting adalah “soft aspect” yakni kualitas SDM. Jogja sejak lama sudah dikenal sebagai kota pendidikan, kota seni, dan kota budaya dengan universitas sebagai mesin penghasil cendekiawan yang tidak pernah putus. Silicon Valley bisa berkembang pun karena dukungan universitas di seputar San Fransisco seperti Stanford University dan University of California at Barkeley.
Kedua, tersedianya “cool green house” yang mendukung tumbuhnya kreatifitas. Mengembangkan kreatifitas itu seperti menumbuhkan sebiji tanaman, jika ingin cepat besar lingkungan harus dikondisikan sehingga tumbuhan yang hidup di rumah kaca (green house) jauh lebih cepat tumbuh besar ketimbang yang ada di luar rumah kaca. Demikian juga kreativitas akan tumbuh cepat jika ada lingkungan yang mendukung tumbuhnya ide-ide baru. Lingkungan kota Jogja yang berhawa sejuk, bebas polusi, dengan budaya masyarakatnya yang komunal namun berpikiran terbuka, menjadikan kota ini sangat “cool” untuk mendorong munculnya ide baru. Pemusik Katon Bagaskara konon menciptakan hampir semua lagu Kla Project di daerah Wisata Kaliurang. Jogja juga punya ribuan tempat nongkrong dari mulai kedai Angkringan Kopi Joss di samping Stasiun Tugu sampai coffee shop modern sekelas Starbucks. Mirip suasana Silicon Valley yang penuh dengan taman dan tempat ngopi yang asik.
Ketiga, jiwa entrepreneurship. Mempunyai ide segudang tidak cukup jika tidak dilanjutkan dengan proses komersialisasi ide (creativity meets commercialization). Di Silicon Valley katanya ada dua golongan masyarakat: pertama, golongan pemikir kreatif dan kedua, golongan pemodal. Kedua golongan ini saling mendukung dan membangun network dan saling membutuhkan. Ketika ada sebuah ide kreatif baru yang visioner sekaligus komersial, maka golongan pemodal ini dengan optimis akan mendukung pendanaan proyek kreatif itu menjadi sebuah produk nyata. Jangan dibayangkan ada proses yang rumit seperti Anda mengajukan kredit ke bank, para pemodal ini akan rela memberikan milyaran dananya begitu ada satu titik peluang komersial yang terkandung dalam sebuah ide. SteveJobs tidak akan bisa mendirikan Apple tanpa bantuan partner investornya Steve Wosziak.
Keputusan cenderung dibuat dengan sensing bukan analysis karena keberhasilan inovasi pada fase awal biasanya tidak mudah untuk dikalkulasikan dalam sebuah angka-angka parameter feasibility studies. Di sinilah pentingnya jiwa entrepreneurship untuk bisa mendorong munculnya sense of opportunity ketika melihat sebuah ide baru yang relatif masih “mentah”. Jiwa entrepreneurship kota Gudeg bisa Anda rasakan berdenyut di setiap pojok kota. Saya sendiri yang sering balik kampung, selalu terkejut dengan berdirinya usaha-usaha baru yang bertebaran di sepanjang jalan protokol sampai jalan pedesaan yang membelah persawahan.
Hal ini karena menjadi orang gajian di Jogja sungguh tidak meng-enakkan karena UMR di kota Gudeg ini relatif kecil sekali, susah mencari gaji Rp 1 juta untuk seorang lulusan sarjana. Perusahaan kelas nasional dan multinasional juga tidak genap ada sepuluh jari. Oleh karena itu, para alumni S1/S2 yang tidak mau pergi ke Jakarta tidak ada pilihan lain selain menciptakan bisnis-bisnis baru yang kreatif, seperti “angkringan” hot-spot, thematic restaurant/cafĂ©, advertising agency, publisher, distro, atau entertainment.
Keempat, nilai sosial yang mendukung. Sebuah proses kreatif tidak akan jalan pada sebuah masyarakat yang memiliki sikap menyalahkan dan menghukum. Sebaliknya sebuah proses kreatif akan tumbuh pada masyarakat yang pemaaf dan pemurah. Konon di Silicon Valley ada budaya untuk menghargai kegagalan. Orang yang gagal mencoba lebih dihargai daripada orang yang cerdas namun miskin keberanian. Kota Jogja sebagai pusat budaya Jawa mempunyai budaya “forget and forgiveness” (lupa dan memaafkan) yang kental. Kota ini juga relatif belum tercemar dengan budaya hedonis yang mendewakan materi. Mungkin Anda tidak percaya karena Anda belum masuk ke area komunal Jogja dan hanya melihat simbol-simbol hedonisme modern yang tercermin di billboard, spanduk, dan jumlah franchise yang masuk ke kota ini. Sehingga sangat mendukung untuk menculnya ide kreatif karena tidak ada halangan mental (mental blocking) yang membebani individu.
Kelima, kualitas hidup yang lebih baik. Stres merupakan pembunuh kreativitas nomer wahid. Kita yang tinggal di Jakarta pasti pernah merasakan tidak bergairah seharian di kantor karena waktu berangkat terkena macet berjam-jam, kecopetan di angkot, atau mobil kita di serempet sepeda motor, diumpatin orang di jalan, dan lain sebaginya. Akibatnya mood bekerja kita hancur, dan lelah mental sehingga jangankan berpikir kreatif, menjalankan tugas rutin yang tanpa berfikir saja kita malas mengerjakannya. Kehidupan warga Jogja nyaris tidak terganggu dengan faktor eksternal yang disebabkan masalah perkotaan seperti kemacetan, kejahatan, banjir, dan lingkungan yang kumuh sehingga tidak mengherankan jika Jogja menjadi kota yang memiliki skor harapan hidup tertinggi se-Indonesia.
Berdasarkan lima parameter di atas, saya yakin Jogja merupakan salah satu kota yang sangat potensial menjadi basis creative economy Indonesia. Untuk mendorong visi terebut mas Arief dengan jiwa sosialnya telah memulainya dengan kampanye bertajuk “KAPAN KE JOGJA LAGI?” (KKJL) untuk mendorong geliat TTI (Tourist, Trade, Investment) masuk ke Jogja khususnya yang berbasis ekonomi kreatif. KAPAN KE JOGJA LAGI???