Rabu, 27 Februari 2008

Sekali Lagi Tentang Positioning?



Milestone dari konsep marketing adalah pemahaman Segmentasi, penentuan Targeting, dan perumusan Positioning. Perumusan positioning adalah end-result dari kesimpulan kita dalam memandang pasar, dan memilih target yang potensial (* segmentasi dan targeting akan dibahas selanjutnya) sekaligus sesuai dengan sumber daya yang kita miliki. Contoh di atas adalah salah satu end-result dari pemahaman seorang marketer tentang "pasar mobil" dengan membagi menurut dua kategori yakni harga mobil (price) dan konsumsi BBM. Anda pun bisa membuat positioning map berdasarkan kreatifitas Anda dalam melihat pasar misalnya dengan membagi brand berdasarkan harga (price) dan teknologi; harga dan desain; desain dan durability, dan lain sebagainya. Dari positioning map itu Anda bisa melihat dimana posisi brand Anda sekarang dan kemana Anda ingin mengarahkan positioning brand Anda di masa depan.

Secara umum Anda ada dua hal yang harus diperhatikan ketika kita menyusun positioning baru atau merubah positioning yang sudah ada, yakni: manfaat utama yang akan kita tawarkan (apakah benefit leadership, value leadership, ataukah cost leadership) dan point perbandingan yang akan kita pakai (apakah comparative-membandingkan dengan pesaing dalam hal kesamaan ataukah perbedaannya, ataukah noncomparative-hanya berdasarkan kebutuhan dan ketegori).

Contoh jika Anda sekarang brand managernya Chery Tiggo kemungkinan positioning adalah cost leadership (SUV paling murah di kelasnya-hanya 140 jutaan) atau value leadership (murah sekaligus fiturnya lengkap: mesin 2.0 EMI, ABS-EBD-BA, flexible seating configuration), Kalau benefit leadership tidak mungkin karena secara reliability belum teruji sebagai brand baru.

Kemudian ketika menyusun kalimat positioning, brand manager bisa memilih apakah akan menggunakan kalimat bernada comparative (paling dekat adalah Daihatsu Terios) ataukah non comparative, misalnya dengan mengambil angle kalimat dari kebutuhan SUV murah yang menunjang kebutuhan masyarakat akan kendaraan anti banjir.

Any comment?

Jumat, 22 Februari 2008

Nasib Pensiunan Beli Franchise?


Manusia bisa bertahan sebagai mamalia yang terkuat bukan karena otaknya tapi karena kekuatan emosinya..

Kekuatan ini yang menyebabkan kita bisa mencari jalan keluar atas setiap masalah yang kita hadapi selama ini: the power to survive! Nah dalam kontek bisnis franchise, saya melihat banyak franchisee yang gagal lebih banyak karena ketidaksiapan mental menjadi pengusaha. Apalagi para franchisee yang seumur-umur tidak pernah bersentuhan dengan "ilmu dagang" seperti para pensiunan pegawai misalnya. Menjelang masa terima duit pensiun yang puluhan juta, mulailah mereka mencari alternatif investasi yang paling menguntungkan. Melihat suku bunga deposito yang semakin rendah,membuat mereka berpikir: " Ehmm buka usaha kali ya, Pa/Ma..seperti Pak X itu lho ..kelihatannya gampang cari duit..ya". "Udah kita cari aja bisnis yang setipe yang di-franchise-kan."

Setelah melihat-lihat (kebanyakan pake insting karena nggak punya pengetahuan bisnis) kemudian mereka memutuskan salah satu franchisor yang kelihatan paling menyakinkan (murah franchise fee-nya dan adil bagi hasilnya). Singkat cerita toko franchise mereka berdiri setelah set-up eksterior, interior selesai dan semua sistem dan bahan baku telah dikirim oleh franchisor.

Dasar mental pegawai, mereka berasumsi bisnis ini akan berjalan menjadi mesin uang seperti menaruh uang di deposito. Pada bulan pertama mereka masih sering pergi ke toko, berlagak sok tahu dan meminta ini-itu dibenahin oleh pegawai. Bulan berikutnya mereka mulai bosan hanya duduk di pojok toko sambil mengantuk dan kadang mengomelin anak buah spy tidak dikira pembantu. Bulan kedua datang hanya sabtu minggu. Bulan ketiga hanya datang minggu, dan bulan keempat hanya dua minggu sekali dan akhirnya hanya seminggu sekali dengan alasan bermacam-macam.

Apa jadinya? toko yang diharapkan menjadi tumpuan pemasukan masa pensiun itu pada bulan keenamnya pun mati suri, dan pada bulan ketujuh terpaksa ditutup karena pendapatannya tidak bisa mengcover sekadar bayar sewa gedung dan listrik. Lalu bulan berikutnya bapak/ibu pensiunan ini memasang iklan di PosKota dengan judul "DIJUAL peralatan franchise murah!". Sungguh mengenaskan bukan?

Nah kalau tidak ingin menjadi "Pensiunan Penasaran" ada beberapa tips agar Anda terhindar dari "Jebakan Franchise" di saat pensiun:

1. Kenali diri Anda apakah Anda mempunyai jiwa entrepreneurship? Pernah tidak berdagang, memimpin
orang, risk taker, creative dan problem solver?
2. Kenali motivasi Anda terlebih dahulu? Jika motivasi Anda ingin mencari uang tambahan pensiun maka urungkan niat Anda masuk ke bisnis ini, lebih baik Anda mulai mencari prospektus reksadana yang memberi gain paling besar dan risiko terkontrol?
3. Kalau masih penasaran juga bolehlah Anda membeli franchise yang murah di kisaran harga 10 jutaan seperti jualan burger, sebelum Anda memutuskan membeli hak franchise yang ratusan juta. Bisnis ini sebagai pembuktian seberapa kuat Anda menjadi pengusaha?
4. Paling aman adalah jika Anda mempunyai teman dekat yang sudah berkecimpung dalam bisnis yang serupa, mintalah dia bergabung, Anda memodalinya, lalu profit dibagi adil?
5. Belilah franchise yang paling mendekati bidang kerja Anda sebelumnya, misal kalau Anda karyawan Depdikbud maka belilah franchaise pendidikan.
6. Kenali proses bisnisnya dari A-X karena seorang pengusaha yang sukses pastilah pengusaha yang mengetahui detail operasi bisnisnya sehingga mereka tidak mudah diperdaya orang lain?
7. Terakhir don't put all the egg in one basket!! jalan lupa menyisihkan paling sedikit setengah dari uang pensiun Anda di instrumen keuangan yang aman sebagai buffer kebutuhan hidup Anda selama pensiun.


Lakukan tips di atas dan sampai ketemu di jalan orang-orang pensiun kaya-raya !!! hehehe



(even tough it is written in blog, doesn't mean you can freely to copy without notice, Pls respect people's masterpiece thinking!)

Senin, 18 Februari 2008

IMC for Publishing House

Salesman yang jago adalah yang bisa menjual es di kutup utara !

Ungkapan itu menyindir orang pemasaran yang selalu mengaku bisa menciptakan kebutuhan. Dalam kontek dunia penerbitan saya melihat semangat inilah yang harus membara di dada para penerbit. Tidak ada sebuah buku yang bisa sukses jika tidak dikomunikasilkan dengan baik kepada target market meskipun itu "buku dewa" sekalipun. Sebabnya tidak lain karena himpitan yang semakin keras pada persaingan (konon judul per buku yang masuk Gramedia saja per bulannya sudah lebih dari 100 judul), pelanggan yang semakin pintar sekaligus bingung ( pintar dalam menghitung harga yang wajar dari sebuah buku, namun bingung dengan kualitas isi buku). Sedangkan di sisi lain penerbit juga dihadapkan pada beban biaya yang semakin membengkak dan kebijakan pemerintah yang tidak pro-buku sama sekali (kertas mahal pajak mahal)

Alhasil penerbit bagaikan terperangkap dalam labirin, mau tidak nerbitin buku salah, nerbitin juga nggak yakin laku karena nggak ada biaya pemasaran. Biaya pemasaran buku saya prediksi idealnya di kisaran 5-10%, bahkan untuk buku yang diprediksi bakal laku keras seorang teman bisa mengeluarkan di atas 15%. Misalnya ongkos cetak 30 juta maka biaya pemasaran harusnya minimal 3 juta, yang akan habis untuk bedah buku dan acara radio. Lalu bagaimana dengan iklan di media cetak?

Jawabnya mustahil penerbit akan mau jika tidak ada sumbangan dari penulis. Oleh karenanya, saya biasanya telah mengalokasikan minimal 5 juta untuk iklan, dan 10-20 buku gratis untuk para peresensi, ditambah uang terima kasih sekitar 500 ribu untuk tiap peresensi supaya keluar di media massa esok paginya.

Kalau buku Anda pengen laris di pasaran maka Anda pun sebagai penulis harus "mawa bea" alias keluar duit, yah itung-itung investasi jangka panjang. Jika Anda yakin bisa mendapatkan lebih dari 10 juta plus popularitas maka tidak salahnya menguatkan diri untuk mengikhlaskan 10 juta "lari" ke pihak lain. Kalau ternyata gagal ya sabarlah karena bukankah justru keberhasilan menjadi indah kalau Anda sudah pernah tertimpa kegagalan? Terbitkan buku lagi kalau buku kemarin gagal, gagal lagi terbitkan lagi..kalau gagalnya 10 kali barulah Anda berpikir kembali , mungkin Anda memang tidak berbakat menulis dan mulai mengontak HP saya hehehe...